EMPAT
KEDATANGAN
Pak
Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak
bercerita tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang
almarhumah istrinya
yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri
Padang Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan
Niyala.
”Niyala sangat halus perasaannya, sabar, tekun, penuh
pengertian dan tutur bahasanya membuat siapa yang diajak bicara akan
menyukainya. Persis seperti
almurhamah ibunya.” ucap Umi mengenang.
”Yah,
sifat almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak
pernah luntur mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada
namun saya tidak bisa melupakannya. Dan saya pun tidak pernah berpikir
sampai sekarang untuk mencari penggantinya.” Seloroh pak Rusli Hasibuan
dengan mata berkaca-kaca.
Diam-diam Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah ibunya.
Perbincangan
yang bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna
menjadi ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan
menyegarkan suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya
selama belajar di Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah
di Perancis, Italia, Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat
senang medengarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli
meminta waktu pada Umi untuk melakukan perbincangan serius usai makan
malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.
Dan malam itu. Di
ruang makan tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk
dekat pintu ruang tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping
kirinya Pak Rusli. Sementara Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala
sedangkan Herman duduk di samping kiri Pak Rusli. Mereka semua telah
selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan menikmati pertemuan di
meja makan itu, kecuali Niyala . Ia sangat tegang. Keringat dinginnya
telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yan
ditakutinya itu.
”Pak Rusli, katanya ada yang mau diperbincangkan.
Silahkan mumpung terlihat masih segar dan masih sore.” Umi mengawali
pembicaraan.
”Iya ini ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena
ini menyangkut dua keluarga. Yaitu keluaraga saya dan keluarga Umi maka
kita perlu bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”
”Benar
Umi. Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala
layaknya anak kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas
segala kebaikan Umi. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan
kami ingin mengajak Niyala pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda.
Dia sangat dibutuhkan masyarakat sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan
mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya. Apalagi kebetulan sekali ada
seorang tokohmasyarakat yang melamar Niyala untuk anak lelakinya. Dan
terus terang saya sangat susah untuk menolak lamaran itu. Kami yakin ini
masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat melepas Niyala. Namun kami
dengan segala hormat mohon kebijaksanaan Umi.”
Mendengar
permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati Umi bergetar. Setelah
sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu apakah harus ia
melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia sudah
terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang
sehalus dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan
rumah ini pada Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang
jika mengikuti isi wasiah dari
almarhumah ibu kandung Niyala
maka tugas Umi sudah selesai begitu Niyala telah tumbuh dewasa menjadi
gadis yang salehah. Tak terasa ada yang meleleh dari sudut mata Umi.
Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,
“Tidak mudah memang
untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk ditinggal oleh sesuatu atau
seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan wasiat
almarhumah ibundanya
Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak bisa menahan atau meminta
Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki kebebasan untuk
menentukan jalan hidupnya. Maka yang paling bijaksana menurutku ialah
menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Niyala. Apakah dia akan tetap
tinggal di sini atau tinggal di tanah kelahirannya, Sidempuan. Juga
masalah pasangan hidupnya, Niyalalah yang paling berhak memilih.”
“Umi
sungguh bijaksana. Anakku Niyala kau sudah dengar sendiri apa yang
dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang memutuskan, dimana kau akan tinggal
dan mengabdikan diri?”
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya
menunduk. Ia berharap Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan
membereskan semuanya. Suasana menjadi hening beberapa saat lamanya. Faiq
tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak karuan kacaunya.
“Ayilah
Anakku Niyala. Bicaralah. Kau bebas menentukan pilihanmu. Seandainya
pun kau memilih Sidempuan Umi ikhlas kok. Umi tetap menganggapmu sebagai
anak Umi. Umi tidak akan berubah. Kau jangan bimbang menentukan pilihan
yang kau anggap paling membuat dirimu bahagia. Di Sidempuan sana kau
akan berkumpul dengan keluarga besarmu yang sangat mencintaimu.” Ujar
Umi memecah keheningan sambil mengusap kepala Niyala.
Mata Niyala
berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki kanannya dengan halus
menyepak kaki kiri Faiq. Ia ingin Faiq angkat bicara. Namun Faiq tetap
diam tak bergeming dan tak bersuara. Rasanya Niyala ingin menangis. Ia
sudah tidak tahan. Bibirnya benar-benar kelu dan tak mungkin bisa bicara
dengan baik. Ia menurunkan tangan kanannya dan mencubit paha Faiq
dengan sekeras-kerasnya. Tak ayal Faiq tersentak namun ia berusaha
menahan rasa sakitnya. Faiq berdehem. Niyala melepaskan cubitannya.
”Boleh ananda bicara Pak Rusli dan Umi?”
”O silahkan Nak Faiq. Silahkan. Kita memang sedang bermusyawarah.” Sahut Pak Rusli, sedangkan Umi diam saja.
”Begini,
ananda bicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini
sesungguhnya pernah diutarakan Niyala pada ananda. Baik selama ananda
ada di rumah, maupun selama ananda di luar negeri. Kami tak pernah
berhenti berkomunikasi. Sebenarnya Niyala ingin sekali untuk pulang ke
kampung halamannya. Niyala sangat mencintai keluarga besarnya dan tanah
kelahirannya. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan Umi ketahui bahwa
Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali berterus terang
pada saya, baik secara langsung maupun melalui surat, bahwa Niyala
sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang ia cintai
mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak
memperistri Niyala. Cinta keduanya telah terjalin tak kurang dari
sebelas tahun. Tepatnya sejak Niyala masuk SMP. Apakah mungkin kiranya
cinta yang telah terjalin selama sebelas tahun lamanya ini akan diputus
begitu saja? Siapakah orang yang tega memutuskannya? Dan saya tahu
persis bahwa Niyala sangat menjaga kesucian dirinya dan kesucian
cintanya. Ia tidak melakukan maksiat dengan cintanya. Menurut ananda,
tindakan yang paling bijak diambil oleh Pak Rusli dan Umi adalah
merestui dan menyegerakan pernikahan adik Niyala dengan orang yang
sangat dicintainya itu. Dan saya berani menjamin bahwa orang yang
dicintainya dan mencintai Niyala akan berusaha sekuat tenaganya untuk
membahagiakan Niyala. Sebab saya tahu cinta mereka berdua sangat tulus.
Ini menurut pendapat ananda.”
Muka pak Rusli pucat. Umi menangkap
perubahan itu. Umi kuatir Pak Rusli kecewa dengan dirinya. Karena
dirinya tidak bisa mengasuh Niyala. Bagaimana mungkin ia membiarkan anak
SMP menjalin cinta. Umi sendiri kaget dengan penjelasan Faiq. Ia belum
yakin dengan apa yang diutarakan anaknya itu. Dengan nada yang halus, ia
bertanya pada Niyala,
”Anakku Niyala, benarkah apa yang dikatakan oleh kakakmu Faiq?”
Niyala mengangguk. Mata Umi berkaca-kaca. Dengan terisak ia berkata,
”Sebenarnya
Umi sangat kecewa mengetahui kenyataan ini. Kenapa masalah sepenting
ini kau sembunyikan dari Umi? Apakah kau tidak percaya pada Umi? Selama
ini Umi tidak pernah menyembunyikan sesuatu darimu Anakku. Umi sangat
mempercayaimu. Apakah masih kurang bijaksana Umi mengasuhmu, Anakku?
Sekarang coba katakanlah pada Umi siapa lelaki yang kau cintai sejak SMP
sampai saat ini itu? Siapakah dia Anakku?”
Niyala bingung. Ia
tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Permasalahannya menjadi begitu
rumit. Ia benar-benar tidak punya jawaban. Mukanya pucat. Tubuhnya
gemetar. Keringat dingin mengalir. Kaki kanannya menyodok kaki kiri
Faiq. Sesaat lamanya Umi menunggu jawaban dari mulut Niyala tapi tidak
juga keluar.
”Anakku jawablah! Siapa dia? Masalah ini tidak akan
tuntas jika Umi dan Ayahmu tidak tahu siapa orang yang kau cintai itu.
Jika lelaki itu memang pilihanmu, maka Umi akan merestuinya. Katakanlah
siapa dia?”
Niyala tidak menjawab, ia kembali mencubit paha
Faiq. Ia minta kakak angkatnya itu harus bicara. Sebab ini semua yang
membuat skenarionya dia. Jadi dia yang harus menuntaskannya.
”Begini
Umi. Niyala sangat pemalu untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, biar
ananda saja yang menjelaskan siapa orang yang di cintai Niyala. Namun
sebelumnya ananda minta Umi tidak marah bila mendengar namanya. Apakah
Umi bersedia berjanji tidak akan marah? Sebab ananda takut Umi akan
marah.” kata Faiq.
”Baiklah, Umi berjanji tidak akan marah.”
”Nama lengkap lelaki yang dicintai Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam.”
”Apa!? Jadi yang dicintai dan mencintai Niyala itu kau sendiri Faiq?”
Semua
mata tertuju pada Faiq, termasuk mata Niyala. Semuanya terkejut dengan
pengakuan Faiq itu. Niyala sendiri tidak habis pikir, kakaknya sampai
nekad bersandiwara seperti itu. Ia sama sekali tidak mengira kakak
angkatnya akan segila itu membelanya.
’Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya.”
”Aku
tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku tahu kau mencintai
Niyala, tapi itu cinta seorang kakak pada adiknya. Itu bukan cinta
sepasang kekasih.”
”Tidak Umi. Ananda mencintai adik Niyala
seperti seorang kakak pada adiknya juga sekaligus seperti Yusuf
mencintai Zulaikha, atau Romeo mencintai Juliet. Ini ananda berkata
dengan sejujurnya dan sebenar-benarnya. Kalau Umi tidak percaya,
silahkan Umi bertanya sendiri pada Dik Niyala.”
”Benarkah yang dikatakan kakakmu Niyala?”
Untuk kali ini Niyala membuka suara,
”Benar
Umi. Apakah Umi lupa, sebenarnya kami bukan kakak dan adik. Dan kami
bukan mahram. Kami saling mencintai, namun kami tidak pernah melakukan
hal-hal yang dapat menodai kesucian diri, hati dan jiwa. Kami telah
menitipkan rasa cinta kami kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Dan biarlah malam ini menjadi malam yang menentukan, apakah
cinta suci kami akan berlanjut ataukah akan terputus ditengah jalan.”
”Bagaimana ini Umi? Saya tidak mengerti apa yang terjadi.” Tukas Pak Rusli bingung berbaur cemas.
”Saya
juga seperti dalam mimpi Pak. Bagaimana mungkin saya yang sering tidur
satu kasur dengan Niyala sampai tidak tahu apa yang terjadi pada
dirinya.” Jawab Umi.
Niyala sendiri tidak akan tahu seperti apa
akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang jelas ia sedikit
merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. Untuk sementara ia
merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir ini menghantuinya.
”Pak
Rusli, yang terjadi adalah ananda mencintai Niyala puteri Bapak. Dan
Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon Bapak berkenan merestui
kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi tidak bermimpi.
Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.
Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam saja akhirnya berbicara juga,
”Sebaiknya
ayah tidak usah pikir panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka
berdua. Adik Faiq ini jelas jauh lebih baik daripada Si Roger puteranya
Pak Cosmas itu. Yang paling penting adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika
ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu jelas ada di depan mata.
Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan memahami.
Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa
tidak Dik Niyala nanti.”
”Saya pasrah. Saya ikut pada kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.
”Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.
”Umi,
ananda mohon terimalah kenyataan ini. Apakah saling mencintai itu dosa?
Perasaan cinta itu datang dengan sendirinya. Masuk begitu saja kedalam
hati kami. Kami berdua saling mencintai Umi. Apakah Umi rela kami hidup
menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana akhir-akhir ini Dik Niyala
sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir akan kehilangan orang
yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan menghormati Umi
sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab orang yang
dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda yakin
seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari
Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun
bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius. Niyala
terkesima melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas
mengimbangi,
”Saya sudah bersumpah tidak akan menikah kecuali
dengan Kak Faiq. Biarlah cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa sampai
mati. Bukankah Umi telah mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
Kalimat
yang diucapkan Niyala dengan tegas ini membuat perempuan separuh baya
itu tersentak. Ia sadar, yang tengah ia hadapi kini adalah gelombang
cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak. Jika tidak, maka penyesalan
yang akan ia petik.
”Kalau memang sudah demikian bulat dan kuat
cinta kalian, Umi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merestui kalian.
Umi sangat mencintai kalian berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya
kenyataan ini, namun Umi tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan
tetap hidup satu atap dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan.
Kalau begitu, malam ini juga kita musyawarahkan hal-hal mengenai
pelaksanaan pernikahan kalian.”
”Mereka berdua adalah orang-orang
yang terpelajar. Pasti mereka telah membuat rencana yang matang. Jadi
kita serahkan saja sepenuhnya masalah pelaksanaan pernikahan mereka pada
mereka. Bukankah begitu ayah?” sahut Herman.
Pak Rusli mengangguk
pasrah. Perasaan bahagia dan sedih bercampur baur dalam hatinya.
Bahagia karena puterinya sebentar lagi akan menjadi dokter dan memiliki
seorang suami yang baik dan berpendidikan tinggi. Sedih jika mengingat
hutangnya delapan puluh juta pada Pak Cosmas dan ia akan bilang apa pada
Pak Cosmas. Padahal seluruh ongkos ke Jakarta ini pun diberi oleh Pak
Cosmas.
”Apa kalian sudah punya rencana?” Tanya Umi dengan
memandang Niyala dan Faiq bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa.
Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya
sedang berusaha menyelamatkan dirinya.
”Alhamdulillah Umi,
kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi,
Pak Rusli dan Mas Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan
melangsungkan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati
Niyala tiba-tiba berdesir mendengar akad nikah secepatnya. Apakah
kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar sedang bebicara dengan
siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga melirik Niyala.
Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala
tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya berpikir, pokoknya
jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab adalah
kakaknya,Faiq.
”Kapan rencana kalian mau akad nikah?” Tanya Umi.
”Secepatnya.” Sahut faiq.
”Ya, pastinya kapan?”
”Sebelum
Ananda menjawab waktunya. Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali,
apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman benar-benar merestui pernikahan
kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami penuh berkah, berlimpah doa
dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika ada satu
zarrahrasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah selamanya.”
”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”
”Bapak juga ikhlas lahir batin.”
”Saya juga ikhlas adik perempuanku satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”
”
Alhamdulillah.
Kami sangat bahagia mendengarnya. Dik niyala, kau sudah mantap kan
dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahit batin kan Dik?” Kata
Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat
mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap meyakinkan. Ia menatap
wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main apa
sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata Faiq yang jernih
bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.
”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu??”
Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.
”Ini
sungguh dan serius. Kita akan menikah secepatnya. Dan kita akan tetap
tinggal bersama di rumah mungil ini dengan penuh cinta. Kita akan mereda
masa depan bersama. Dan akan membesarkan anak-anak kita nanti bersama.
Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”
Tangis Niyala meledak, dengan suara terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”
Ruangan
itu diselimuti rasa haru yang luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia
menangis seolah merasakan kebahagiaan Niyala. Cintanya yang terpendam
sebelas tahun yang masih dalam impian akan menjadi kenyataan. Umi tidak
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga menangis. Ia menangis
karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya seperti itu
karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga
berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis
karena masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan
kakaknya Faiq itu cuma sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya
sementara. Ataukah Faiq bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai
istrinya selamanya. Sebab ia merasa masalahnya sudah tidak sekedar
main-main lagi. Kalaulah main-main, apakah permainan ini tidak akan
menyakitkan semuanya?. Menyakitkan Umi, ayahnya dan Mas Herman.
”Kak
Faiq, jelaskan padaku...apa arti semua ini? Kakak sedang bersandiwara
bukan?” Lanjut Niyala dengan terisak dan air mata berkucuran.
”Adikku
Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak
sungguh-sungguh hendak menikahimu secepatnya. Kakak tidak mungkin bisa
hidup tanpa dirimu disamping kakak. Kakak sangat mencintaimu. Dan kakak
tidak pernah dan tidak akan pernah mencintai wanita selain Umi dan
dirimu. Kakak ingin kau menjadi istri kakak, menjadi pendamping kakak
mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridha Ilahi. Dan kakak ingin
kaulah yang melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak kakak. Kakak
berjanji akan membawamu ke istana kebahagiaan semampu kakak. Ini bukan
sandiwara lagi. Ini serius. Apakah kau ragu untuk melangkah ke
pernikahan, mengarungi hidup dengan kakak, Adikku?” Kali ini Faiq
menjawab dengan segenap perasaannya. Kedua matanya basah.
Mendengar
kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Faiq dengan penuh kesungguhan
itu, Niyala merasa ada hawa dingin yang turun dari langit. Hawa dingin
itu merasuk di ubun-ubunnya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Hatinya
merasakan kesejukan yang luar biasa. Tetesan air matanya semakin deras.
”Adik
ikut kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak.” Pelan Niyala sambil
menunduk. Perasaan haru, bahagia, cinta, optimis dan surprise membaur
jadi satu dan berpendar-pendar dalam dadanya. Ia belum pernah merasakan
perasaan seindah itu sebelumnya.
”Semuanya sudah terang. Jadi
dalam rencanamu, kapan akadnya akan dilangsungkan, Anakku? Tanya Umi
sambil memandang wajah Faiq lekat-lekat.
”Ananda berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah akan kami laksanakan malam ini juga!”
Tak ayal Niyala, Umi, Pak Rusli dan Herman kaget mendengarnya.
”Ini bukan lelucon Anakku!” Seru Umi.
”Ananda
serius, Umi. Ananda tidak main-main. Untuk sebuah acara sakral yang
cuma sekali dilaksanakan dalam hidup, apa ananda akan main-main? Ananda
sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ananda sudah mengontak KUA
dan membereskan administrasinya. Ananda juga sudah mengundang
tokoh-tokoh masyarakat, remaja masjid dan masyarakat sekitar sini.
Ananda sudah mengundang Pak Kiai Imam Jazuli. Ananda juga sudah
mempersiapkan katering dan handycamnya. Semua sudah ananda persiapkan di
Aula Islamic Centre, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan dimulai.
Orang-orang sudah menunggu disana. Dua puluh menit lagi akan ada dua
mobil datang kemari. Sekarang sebaiknya Niyala, Umi, Pak Rusli, dan Mas
Herman bersiap-siap. Adik Niyala, kau cucilah mukamu. Berdandanlah yang
anggun dan jangan berlebihan, namun jangan juga sampai ada guratan
kesedihan di wajahmu. Kakak ingin kau bahagia. Gaun pengantin khas Turki
yang kakak berikan tadi pagi pakailah. Sementara kakak juga akan
bersiap-siap. Kalau begitu, kita tutup dulu musyawarah ini dengan doa
kafaratul majlis. Lalu kita semua bersiap-siap.”
Setelah ditutup dengan doa. Empat orang itu sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara sakral yang tidak terduga-duga.
***
Niyala
membasuh wajahnya dengan lotion pembersih wajah. Lalu mengambil air
wudhu. Di kamarnya ia menyempatkan untuk shalat dua rakaat meminta
ketenangan dan kebahagiaan. Setelah itu ia berdandan seperti yang
diminta kakak angkat yang sangat ia kagumi dan ia cintai, yang kini
tiba-tiba menjadi calon suaminya. Ia memakai gaun pengantin khas Turki.
Kepalanya ditutupi jilbab sutera Turki. Ia berdandan dengan cepat namun
hasilnya tetap luar biasa. Tanpa berdandan pun Niyala sudah cantik
mempesona. Di luar terdengar suara derum mobil.
Faiq keluar dari
kamarnya dengan pakaian biru telur yang menawan. Peci hitam bersulam
emas membuat dia semakin tampan. Lalu Niyala keluar dati kamarnya.
Keduanya berpandangan sesat lalu saling menunduk. Hati keduanya
berbunga-bunga. Baru kali ini mereka berpandangan namun disertai
perasaan sangat indah yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tak
lama kemudian Umi, Pak Rusli dan Herman sudah siap. Merekapun meluncur
menuju Islamic Centre. Di sana semuanya telah siap. Lampu hias menyala
gemerlapan. Para tetangga, para pemuda dan tokkoh-tokoh masyarakat sudah
memenuhi ruangan.
Malam itu, akad nikah antara Niyala Binti Rusli
Hasibuan dan Muhammad Faiq Bin Saiful Anam berlangsung dengan penuh
khidmat, dan dalam acara yang sakral itu Faiq kembali memberikan kejutan
yang membuat Niyala dan ayahnya juga seluruh yang hadir terkesima. Faiq
memberikan mahar sebuah mushaf cantik yang ia beli di Cairo, uang tunai
senilai 85 juta rupiah dan hafalan surat Ar-Rahman.
Saat Faiq
membaca surat Ar-Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan
suaranya mampu membuat semua yang hadir meitikkan air mata. Setiap kali
Faiq melantunkan ayat ”
Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzdzibaan (artinya
:”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”). Dengan
diiringi isak tangisnya, semua yang hadir ikut terisak menangis. Dan
diantara sekian banyak orang menangis, yang paling dalam tangisannya
sampai kerelung jiwa adalah Niyala. Pintu hatinya terasa terbuka
bagaikan melihat keagungan Tuhannya. Saat itulah ia merasakan bahwa
Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Ia merasakan betapa
agungnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Setelah khutbah
nikah dan do’a, acara dilanjutkan dengan pesta walimah yang cukup
meriah. Grup rebana dan shalawat remaja mesjid tampil memukau. Seorang
anak TPA berjilbab merah jambu dan berpakaian merah jambu membacakan
sebuah puisi berjudul ’Bidadariku’. Suaranya yang jernih dan merdu mampu
menyihir seluruh manusia yang ada dalam aula itu. Pesan puisi itu
tersampaikan dengan dahsyat :
”Mas kawin untuk bidadariku
Adalah sekuntum bunga melati
Yang aku petik dari sujud sembahyangku
Setiap hari
Buah cintaku dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan
Yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiap zaman
Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad yang tidak mengenal Tuhan
Abad-abad hilang naluri kemanusiaan
Abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia membela kebenaran
Dan keadilan
Estafet perjuangan kami berelanjutan
Sambung-menyambung pada setiap generasi
Tak berpenghabisan dan terus bergerak
Mengaliri ladang-ladang peradaban
Seperti cintaku pada bidadariku
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para Nabi”
Niyala
sangat tersebtuh mendengar puisi itu. Ia berkata dalam hati, ’Oh puisi
yang indah! Siapakah dia gerangan yang mencintai istrinya dengan begitu
indah dan sucinya ? Siapakah dia yang cintanya pada istrinya yang tak
berpenghabisan, yang
terus tumbuh semakin subur, dari hari ke hari, laksana kalimat-kalimat suci, di hati para salehin, di hati para nabi ? Siapakah dia yang menulis puisi itu ? Kenapa anak itu tidak lebih dahulu memperkenalkan siapakah pembuatnya?”
’Tiga detik kemudian pertanyaan Niyala terjawab. Usai membaca puisi gadis berjilbab merah jambu itu berkata,
bapak-bapak,
ibu-ibu dan hadirin sekalian yang dirahmati Allah. Puisi ini ditulis
dengan segenap tetesan jiwa oleh kakak Muhammad Faiq saat masih kuliah
di Mesir untuk seorang bidadari impiannya. Yang saat itu dia belum tahu
siapa bidadrinya? Dan ternyata bidadarinya yang sangat dicintainya
adalah Mbak Niyala yang cantik jelita!”
Tak ayal, tepuk tangan
langsung bergemuruh membahana. Beberapa ibu tampakk mengusap ujung
matanya dengan sapu tangan. Hati Niyala berdesir kencang. Ia merasakan
kesejukan luar biasa. Tiada henti-hentinya mendengdangkan
hamdalah. Entah dari mana datangnya tiba-tiba ia teringat potongan sajak ”mendalam” Armin Pane :
Kasih lari mendatang,
Bersua pantai tujuan sayang.
Memecah menghebat gembira,
Melama, damai, kasih mendalam.
* * *
Acara
akad nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh
menit. Setelah semua hadirin memberi ucapan selamat, dua pengantin dan
keluarganya kembali ke rumah. Mereka tidak langsung istirahat. Tapi
berbincang-bincang di ruang tamu dengan wajah berhias bahagia. Niyala
masih mengenakan gaun pengantinnya. Dan Faiq belum mengganti pakaiannya.
”Faiq anakku, Umi sangat bangga padamu, Nak. Kalau boleh ibu tanya dari mana kau dapatkan biaya sebanayak itu?”
Faiq yang duduk di sofa panjang di samping Niyala mengambil nafas panjang. Lalu menjawab,
”Anandalah
yang semestinya bangga memiliki seorang ibu seperti Umi. Umilah yang
berkorban dan pontang-panting mencarikan biaya agar ananda bisa kuliah
ke Mesir. Kalau bukan karena umi, Faiq tidak akan menjadi seperti
sekarang. Faiq juga tidak akan punya biaya sebanyak itu. Itu selalu
mengajarkan agar ulet, sabar dan tidak menyerah. Dan itulah yang Faiq
kerjakan. Umi juga sering mewanti-wanti agar Faiq hidup bersahaja dan
hemat, itu j uga yang Faiq kerjakan. Dulu Faiq pernah kirim uang
beberapa ratus dolar pada Umi tapi Umi menginginkan agar Faiq
menyimpannya untuk hari depan Faiq. Dan semua nasihat Umi Faiq
indahkan.
Alhamdulillah berkat do’a restu Umi, Ananda dapat
beasiswa S2 di London. Beasiswa itu hanaya cukup buat memenuhi kebutuhan
ananda. Namun ananda bisa bekerja
part time di sebuah toko.
Gajinya ananda tabung. Setelah itu ananda mendapat tawaran untuk
mengajar bahasa Arab di Islamic Centre. Ananda pun tinggal di sana jadi
uang sewa apartemen bisa ananda tabung.
Alhamdulillah dengan
itu semua ananda bisa membiayai pernikahan ini. Dan saat ini ananda
massih punya sisa tabungan sebesaar 15 ribu pounsterling.
Insya Allah cukup untuk membiayai Dik Niyala untuk mengambil Specialis.”
Bagaimana kau melakukan ini? Apakah telah benar-benar kau persiapkan jauh-jauh hari? Tanya Umi lagi.
”Tidak
Umi semuanya faiq siapakan tadi pagi sepulang dari Pulo Gadung. Umi apa
lupa, dulu kan Faiq Ketua Remaja Masjid dan Humas Karang Taruna. Jadi,
semuanya mudah saja. Terus, kepala KUA nya itu kan teman satu bangku
Faiq waktu SD. Yang jelas, semuanya
alhamdulillah berjalan
dengan baik. Namun, Faiq minta maaf pada Umi, Pak Rusli dan Mas Herman.
Dalam musyawarah tadi Faiq telah berbohong. Faiq minta maaf.”
”Apa itu Anakku kalau boleh Umi tahu?”
”Faiq
mengatakan telah menjalin cinta dengan Dik Niyala sejak SMP itu
sebenarnya Faiq berbohong. Maafkan Faiq. Yang benar, sejak dulu Faiq
menganggap Niyala seperti adik sendiri. Dan sebetulnya Faiq mulai merasa
mencintai Dik Niya bukan sebagai adik adalah sejak tadi pagi. Sejak Umi
mengungkapkan rasa tidak bisa berpisah dengan Dik Niya. Sejak Umi
merasa tidak ada perempuan yang bisa memahami dan mencintai Umi melebihi
Dik Niya. Sejak itulah Faiq meraba hati Faiq, ternyata Faiq juga berat
berpisah dengan Dik Niya. Dan setelah Dik Niya minta pada Faiq untuk
membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, maka Faiq
langsung mempersiapkan segalanya.”
Umi, Pak Rusli dan Herman manggut-manggut mendengar pengakuan Faiq. Mata mereka semua berkaca-kaca.
”Kalau
kau Niya sejak kapan cintamu pada kakak angkatmu berubah menjadi cinta
seorang gadis pada pemuda pujaannya?” celetuk Herman.
”Kalau dia
kayaknya saat pertama kali lihat aku dulu, sejak masih
ingusan,hehehe...” Serobot Faiq sambil tertawa renyah. Semua ikut
tertawa kecuali Niyala.
”Ih, kakak nakal! Main tuduh sembarangan!” Sewot Niyala.
”Lalu sejak kapan?”
”Sejak
musyawarah tadi. Sejak kakak meyakinkan pada Niya, bahwa kakak tidak
sedang bersandiwara, tapi kakak bersungguh-sungguh. Sejak itulah rasa
kagumku pada kakak berubah menjadi rasa cinta.”
Umi menitikkan air mata mengetahui kisah cinta dua anak yang disayanginya itu. Ia hanya bisa mengucapkan
Subhanallah dalam hati.
”Emm...Nak
Faiq, maharnya apa tidak terlalu besar?” Sahut Pak Rusli dengan mata
basah dan tangan bergetar memegang tas kecil berisi uang tunai 85 juta
rupiah.
”Masya Allah. Mahar itu tidak ada nilainya untuk
seorang gadis shalehah seperti Niyala. Dunia seisi ini tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan seorang istri shalehah. Bagi Faiq, Dik
Niyala tidak bisa dinilai dengan materi.”
Niyala menunduk dengan
air mata kembali menetes mendengar perkataan suaminya. Ia merasa dirinya
sangat dihargai dan dimuliakan. Hatinya tiada henti memuji keagungan
Allah. Ia berjanji akan benar-benar menjadi istri yang shalehah untuknya
dan akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.
”Apakah masih ada yang perlu dibicarakan? Saya capek sekali. Saya perlu istirahat.” Ucap Faiq.
”Memang sudah malam. Saatnya istirahat. Apalagi besok pagi kita ada acara menghadiri wisuda Niyala.”
Umi
bangkit dari duduknya diikuti pak Rusli dan Herman. Faiq berbisik manja
di telinga Niyala, ”Faiq malam ini tidur dimana Bu Dokter? Kamar Faiq
ditempati ayah sama kakakmu. Masak Faiq harus tidur di ruang tamu?
Bolehkah Faiq tidur di kamar Bu Dokter?”
Niyala tidak menjawab. Ia
meraih kepala Faiq dan hendak menciumnya. Faiq meletakkan telunjuk
tangan kanannya di depan bibirnya. ”Sst jangan disini”. Dengan gerakan
cepat Faiq membopong Niyala ke kamar. Umi, Pak Rusli dan Herman
menyaksikan itu dengan tersenyum geli.
Sampai di kamar, Faiq
meletakkan Niyala dan mendudukkannya perlahan di sisi ranjang. Faiq
mengamati wajah istrinya itu lekat-lekat. Maha suci Allah yang telah
mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
”Kakak capek?” Lirih Niyala
”He eh.”
”Mau dipijit?”
”He eh.”
”Kak, boleh Adik minta sesuatu?”
”Boleh.”
”Adik
tahu kakak capek. Tapi adik minta, malam ini juga wisudalah adik
menjadi seorang perempuan yang paling berbahagia di dunia, sebelum besok
adik di wisuda menjadi sarjana Kedokteran.”
”Maksud Adik?”
Niyala mengerdipkan mata.
Faiq
tersenyum dan berkata, ”Baiklah, kakak mengerti maksudmu. Tapi tolong
kakak dipijitin dulu donk, biar segar. Kakak capek banget. Setelah
segar, kita shalat bareng dua rakaat. Bermunajat kepada Allah yang telah
memberikan nikmat maha agung kepada kita berdua. Barulah kakak akan
mewisudamu dan membawamu ke taman surga.”
”Tapi nanti saat shalat jangan baca surat yang panjang ya kak? Membaca surat yang pendek saja.”
”Lho justru nanti rakaat pertama kakak mau membaca Al-Baqarah sampai selesai. Rakaat kedua mau membaca Ali-Imran.”
“Jangan kak!” Rengek Niyala manja.
“Kenapa?”
“Ah kakak, nanti keburu pagi.”
Faiq tersenyum.
Niyala menatapnya dengan penuh cinta.
Di
luar kamar purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh
genting dan pepohonan. Angin mengalir sepoi-sepoi. Langit cerah. Hawa
sejuk perlahan mengirim embun pada rerumputan. Bintang-bintang
bertaburan. Sepasang kunang-kunang menari-nari di angkasa. Di iringi
tasbih alam, keduanya tampak begitu indah memadu cinta.
TAMAT