Sabtu, 21 Desember 2013

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA (bagian) 1《♡》

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA (bagian) 1《♡》


《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 1《♡》

Oleh Âl Âkh Mũqâđđis Ẽl-Fârũq


Karya : Habiburahman El-Shirazi

SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta?,,,

Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu.

Tak ada! Jawabnya sendiri.

Kecuali, manusia yang hidup tanpa hati dan nurani, seperti pelacur yang biasa hidup nista dan mendustakan cinta. Bahkan seekor merpati yang tiada dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. Tuhan menciptakan mahklukNya di semesta raya ini juga atas dasar kehendak dan cintaNya. Matahari, rembulan dan bintang bersinar karena cinta. Lautan menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir karena cinta. Angin bertiup karena cinta. Pohon berbuah karena cinta. Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Lebah meneteskan madu karena cinta. Dan hidup ini pada asalnya adalah aliran cinta. Sumbernya adalah samudra cinta Allah yang meliputi semesta. Dan segala benda dalam alam raya tunduk patuh menyembah Allah juga atas dasar cinta. Bukankah kesejatian penyembahan dan kepatuhan itu terlahir dari kedahsyatan cinta? Lalu kenapa selalu saja ada yang mengusik hukum cinta?

Ia masih terduduk diatas sajadahnya. Kedua matanya terpejam. Dari dua sudut matanya keluar tetesan bening seperti embun.

Oh, haruskah aku gadaikan hidupku ini? Pasrah tercampak tanpa mimpi mulia seperti pelacur hina yang kalah oleh nafsunya. Hampa, pahit dan getir tanpa cinta. Oh! Bukankah lebih baik aku mati saja jika harus menyerahkan mahkota kehormatan tanpa cinta. Menerima pasangan hidup dengan hati perih tersiksa. Merentas hidup baru hanya untuk mereguk nestapa selamanya. Melayani suami tanpa cinta. Terpaksa dan tersiksa. Melahirkan anak tanpa rasa bangga. Hidup selamanya diatas derita batin tiada tara.

Oh, jika demikian adanya, bukankah aku lebih kalah dari pelacur itu. Mereka mereguk hidupnya atas kehendaknya, atas pilihannya, bahkan mereka bisa begitu menikmati hidup yang dijalani meskipun menistakan cinta. Tapi aku, aku akan hidup dalam bara belenggu keterpaksaan dan pemerkosaan sampai akhir hayat! Kenapa aku mesti mereguk kekalahan ini? Kekalahan untuk hidup ditinggal cinta, dipeluk kebencian dan kehinaan. Kenapaa!? Bukankah ini azab yang tiada tara perihnya? Apakah aku memang berhak menerima azab sepedih ini? Dosa apakah yang telah aku perbuat?

Pertanyaan-pertanyaan itu mencerca dan menusuk-nusuk ulu hatinya. Merajam-rajam batok kepalanya. Sakit, nyeri, perih dan pedih. Air matanya meleleh.

Ia baca sekali lagi surat penting dari ayahnya yang dikirim dengan kilat khusus dari Sidempuan. Surat yang membuatnya kehilangan gairah untuk hidup. Dan membuat ia begitu membenci dirinya sendiri. Surat yang ia rasakan bagaikan vonis masuk neraka selam-lamanya. Padahal, saat itu ia sedang menunggu hari terindah dalam hidupnya, yaitu di wisuda sebagai dokter. Saat ia ingin mereguk manisnya madu kebahagiaan dari hasil belajarnya selama ini. Saat ia membayangkan akan bisa merenda hari-hari indah di depan dengan gelar yang ia peroleh. Namun, isi surat dari ayahnya itu bagai petir yang menghanguskan semua harapannya. Memberangus mimpi-mimpinya dan meluluhlantakkan istana cinta yang ia bangun dengan curahan jiwa untuk menyongsong masa depannya.Kalau saja surat itu bukan dari ayahnya. Kalau saja surat itu bukan itu isinya, Kalau saja calon yang disebut itu bukan Roger orangnya. Oh, kalau saja ia bukan ia, tapi ia adalah debu yang tak mungkin terbebani oleh segala bentuk tidak suka. Dadanya sesak, namun ia tetap menekuri kata demi kata surat itu,

Anakku Niyala

Di Jakarta

Assalamu’alaikum,

Ayah di Sidempuan sehat berkecukupan, demikian juga kakakmu, Herman. Kakakmu kini bahkan telah bekerja di kantor kelurahan. Tidak lagi menjadi buruh tani. Sebentar lagi anaknya yang kedua akan lahir. Ayah berharap kau di Jakarta sehat dan baik-baik saja.

Anakku Niyala,

Ayah bahagia membaca suratmu satu bulan yang lalu. Saat kau kabarkan sebentar lagi akan di wisuda jadi dokter, ayah menangis haru. Juga bahagia. Meski ayah tidak iku andil apa-apa, kecuali sepotong doa. Kakakmu sangat bahagia. Dia langsung membuat acara syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Berita bahagia ini akhirnya menyebar. Orang-orang sekampung ikut bahagia, sebab akhirnya dari kampung terpencil di pedalaman Sumatra ini ada yang bisa meraih gelar dokter dari sebuah universitas negeri ternama di Jakarta.

Anakku Niyala,

Dalam suasana bahagia ini ayah minta tolong kepadamu. Dan ayah yakin anakku yang shalehah bisa menolong ayahnya. Begini anakku, kabar engkau tak lama lagi menjadi dokter ternyata membuat bahagia Pak Haji Cosmas, kepala desa kita. Beberapa hari yang lalu beliau datang menemui ayah dan melamarmu untuk diminta menjadi istri anak bungsunya, Roger. Kau tentu kenal Roger. Sebab waktu kecil kau pernah sekolah satu SD dengannya.

Anakku Niyala,

Behadapan dengan Haji Cosmas ayah tiada berdaya apa-apa kecuali mengangguk iya. Sebab terlalu banyak ayah berhutang budi padanya. Kakakmu Herman bisa bekerja di kelurahan juga karena jasanya. Dan ada satu jasa besar Haji Cosmas pada keluarga kita, yang mungkin baru kamu ketahui lewat surat ini.

Begini anakku,

Saat ibumu meninggal kau masih kelas empat SD. Ketahuilah, ibumu meninggal setelah mengidap kangker otak. Seluruh harta yang ayah punya saat itu habis untuk biaya perawatan ibumu di rumah sakit. Ayah berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan nyawa ibumu. Pada saa kritis, Pak Cosmas yang saat itu menjadi Sintua (pembantu pastor), datang menawarkan pinjaman. Ayah tidak bisa berpikir panjang kecuali menerima tawaran itu sepenuhnya. Yang ada dalam pikiran ayah saat itu adalah bagaimana ibumu yang sangat ayah cintai itu selamat. Ayah dipinjami dua petak sawah. Sawah itu ayah jual untuk pengobatan ibumu. Namun takdir menentukan lain, ibumu tetap tak bisa diselamatkan. Saat itu ayah sudah tidak memiliki apa-apa, bahkan rumah pun sudah ayah gadaikan. Dan Haji Cosmas datang lagi untuk menawarkan pinjaman, ayah terima.

Ketahuilah anakku, sampai saat ini pinjaman ini belum mampu ayah lunasi. Total hutang ayah delapan puluh juta. Pak Cosmas masih berbuat baik tidak meminta bunga sama sekali. Namun dari mana ayah bisa mendapat uang segitu banyaknya. Jika dihitung-hitung sudah 13 tahun lebih hutang itu belum bisa ayah lunasi. Ayah sudah tak kepalang tanggung malunya pada Haji Cosmas, namun apa daya ayah tidak memiliki apa-apa. Beban hutang itu bagai paku yang menancap di ubun-ubun kepala ayah, meskipun Pak Cosmas tidak pernah menagihnya. Ketika kau berprestasi di Jakarta dan masuk fakultas Kedokteran, kau lah harapan yang akan menyelamatkan ayah dari derita batin yang berat ini. Kakakmu Herman tidak bisa berbuat banyak, ia sendiri susah menghidupi anak istrinya.

Anakku Niyala,

Ketika Pak Cosmas melamar dirimu pada ayah, beliau bilang, jika kau nanti benar-benar menjadi istri Roger, anak bungsunya, maka seluruh hutang ayah dianggap lunas. Bahkan ayah dijanjikan akan dihajikan tahun depan bersama beliau. Anakku, perkataan Pak Cosmas itu adalah gerbang kemerdekaan bagi ayah. Maka dengan penuh harap, ayah minta keikhlasanmu untuk memerdekakan ayahmu yang tidak berdaya ini. Pada hari wisudamu, insyaAllah ayah akan datang bersama kakakmu. Dan pada saat itu pula ayah akan dengar jawabanmu secara langsung. Jika kau ikhlas dan setuju, ayah akan sangat bahagia dan kita akan langsung pulang bersama ke Sidempuan untuk merembug masalah ini dengan keluarga Haji Cosmas. Di tanah kelahiranmu kau bisa mengabdi dan mengamalkan ilmumu. Dan orang-orang Sidempuan akan menyambutmu dengan penuh suka cita dan kehangatan.

Mengingat pentingnya surat ini, maka ayah mengirimkannya dengan kilat khusus. Ayah tidak memaksamu, namun kemerdekaan ayah ada ditanganmu. Anakku, ini bisa jadi pilihan yang sulit bagimu, tapi apa yang ayah bisa lakukan? Padahal awal bulan depan adalah jatuh tempo hutang ayah setelah berkali-kali ayah minta kelonggaran dan penangguhan pada Pak Cosmas.

Sekian dulu. Maafkan ayahmu, jika surat ini tidak berkenan di hatimu.

Wassalamu’alaikum,



Ayahmu

Rusli Hasibuan



Ia memejamkan mata.

Sakit.

Seperti ada belati menghujam ke dalam ulu hatinya.

Perih.

Seolah ada paku berkarat tertancap di batok kepalanya.

Tulang-tulang terasa ngilu bagaikan diremuk-remuk dengan palu godam. Dan langit-langit seakan-akan runtuh menimpa dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang paling menderita didunia. Biasakah ia menolak isi surat itu? Mampukah ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?

Tidak! Tidak mungkin aku mau berlaku durhaka! Jeritnya dalam hati.

Namun memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi istri Roger tak ada bedanya dengan hidup terhina dan sengsara selamanya. Tak ada bedanya dengan melacurkan diri. Menggadaikan jiwa raga untuk menebus materi delapan puluh juta demi kemerdekaan ayah. Oh alangkah nistanya! Ia merasa lebih pelacur dari pelacur. Lebih terhina dari perempuan yang diperkosa seribu durjana.

Bisa jadi niatnya suci, menikah dengan terpaksa. Tapi nuraninya terdalam mengingkari itu bukanlah pernikahan tapi pelacuran. Bukankah imbalan pernikahan itu adalah lunasnya hutang delapan puluh juta rupiah.

”Oh celakalah diriku, aku akan melacurkan diriku dengan kedok pernikahan!” Ia meratap sedih. Ia belum bisa mengakui itu pernikahan, sebab tak ada nurani cinta dan keikhlasan yang mengiringinya. Bukankah pernikahan adalah ibadah? Dan bukankah ibadah harus disertai kecintaan dan keikhlasan agar diterima.

Rasanya ia mau membenci ayahnya.

“Ini semua gara-gara ayah!” Serapahnya.

Namun buru-buru nuraninya mengingatkan bahwa ayahnya lebih menderita dari dirinya. Ayahnya rela menggadaikan kemerdekaannya demi ketulusan cinta padaalmarhumah ibunya. Kalau bukan karena kekuatan cinta mustahil ayahnya mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk kemerdekaannya. Bukankah semua yang berhutang pada dasarnya menggadaikan kemerdekaannya? Tiba-tiba wajah ayahnya yang tirus, tua, tulang menonjol dan mata berkaca-kaca hadir dalam batinnya. Tidak ayah, ayah tidak bersalah! Tegasnya dalam hati.

Lalu siapa yang bertanggungjawab atas nestapa yang sedang mengintainya bagaikan seekor serigala buas ini? Oh, andai saja nama itu bukan Cosmas dan Roger, tentu ia tidak akan terpuruk membenci keadaan seperti ini. Cosmas! Siapa yang tidak kenal nama itu. Sintua yang kini masuk islam. Ya, hampir semua orang di desanya bergembira karena Sintua kaya itu masuk Islam, dan setahun kemudian langsung naik haji. Tapi dirinya tidak. Biasa saja. Ia hanya merasa cukup mengucapkan hamdalah mendengar ayah Roger itu ber-syahadat. Meski ia tidak tahu persis motif keislamannya. Namun yang jelas mantan Sintua itu masuk islam menjelang pemilihan kepala desa berlangsung. Dan ternyata, setelah itu ia terpilih menjadi kepala desa. Tapi ia merasa tidak perlu melihat apa motifnya. Yang penting masuk islam dan ia mengucapkan hamdalah. Itu saja. Titik. Dan tidak ada perasaan apapun dalam hatinya. Gembira atau tidak, sama. Biasa saja.

Lalu Roger. Nama brengsek itu. Nama yang selalu menghidupkan bara kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia akan menyerahkan jiwa raganya pada manusia tengik itu, meskipun Roger katanya kini telah akrab dengan remaja mesjid di desa kelahirannya. Apakah ia terlalu berlebihan membenci Roger, ia tidak tahu. Yang jelas apapun yang akan dilakukan Roger tidak akan mengubah pandangannya. Roger itu tengik, bajingan yang paling bajingan di dunia ini. Titik! Entah kalau Tuhan menurunkan mukjizat pada Roger sehingga bisa mengubah pandangan hatinya atas dirinya.

Ia masih ingat, waktu kecil dulu, saat masih duduk di kelas empat SD, bagaimana Roger yang saat itu sudah kelas enam nyaris menggagahinya di kebun sekolah. Ia nyaris kehilangan kesuciannya. Untung ada penjaga sekolah yang menolong dan menyelamatannya. Dan kejahatan Roger itu tidak pernah ia lupakan seumur hidup. Kebenciannya pada Roger telah mendarah daging dan tak akan luntur meskipun Roger menjelma menjadi seorang nabi sekalipun. Itulah kebencian seorang perempuan pada lelaki yang telah mencoba berbuat kurang ajar dan merenggut kehormatannya.

Apalagi saat ia pulang ke Sidempuan dua tahun yang lalu, ia mendapatkan berita yang sangat menyakitkan. Ia berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Hesti. Namun Hesti tidak ada. Yang ia jumpai justru kisah tragis yang menimpa Hesti. Dari Bibi Hesti mengalirlah cerita yang membuat perih hatinya. Hesti kini menjual diri di Brastagi. Dan Rogerlah yang membuat Hesti melacur. Hesti dihamili Roger dengan iming-iming akan dinikahi dan dibuatkan rumah mewah. Ternyata Roger tak lain adalah serigala berkepala manusia, ia tidak mau bertanggungjawab setelah menodai Hesti. Keluarga Hesti tidak berani menggugat atas apa yang dilakukan roger. Mereka semua takut pada monster-monster yang berdiri di belakang bungsu Sintua itu. Untuk menutup aib, Hesti mengaborsi kandungannya. Ia membawa lari lukanya ke Brastagi dan mengobati lukanya dengan melacuran diri.

Kalau memang Roger kini telah masuk Islam dan bertaubat, tentunya yang pertama kali harus ia lakukan adalah memperlihatkan tangungjawabnya dengan mengentaskan Hesti dari lembah hitam itu. Ia tidak bisa membayangkan pedihnya luka Hesti, teman sebangkunya di SD yang manis dan lugu itu.

Jika ia pasrah mau menjadi istri Roger, apakah luka Hesti tidak akan semakin parah? Kepedihan hati Hesti mungkin bukan karena si bajingan itu berhasil memperistri perempuan berjilbab yang tak lain adalah teman setia Hesti sendiri. Tapi kepedihan Hesti mungkin lebih dikarenakan melihat betapa bodohnya seorang Niyala yang telah mengecap pendidikan tinggi di ibukota, bahkan tertinggi di kampungnya, sampai jatuh ke dalam pelukan makhluk tengik Roger. Dan yang menjadi ganjalan pedih dalam pikirannnya, apakah ayah dan kakaknya tidak tahu ini semua? Apakah mereka tidak tahu siapa Roger dan apa yang telah dilakukannya?

Ia masih bingung mencari dalang penyebab datangnya nestapa yang siap menerkamnya itu. Tiba-tiba ia merasa dirinyalah penyebabnya. Ya, dirinyalah penyebabnya. Kenapa ia mesti terlahir sebagai perempuan? Perempuan yang sering harus pasrah pada nasib. Dan kenapa ia harus berwajah cantik menawan, sehingga banyak serigala mengincarnya, termasuk Roger.

Pelan ia bangkit dan berdiri didepan cermin. Ia memandangi dirinya sendiri. Tiba-tiba bara amarahnya membucah dalam dada, “Tidak! Bajingan seperti Roger tidak berhak menyentuh Niyala!”

Namun pada saat yang sama bayangan ayahnya hadir dengan wajah tirus dan mata berkaca seolah berkata, “Tolong, merdekakan ayah Nak! Dan bukankah menikahi Roger itu dakwah? Jangan berprasangka buruk atas motif keislaman Roger dan ayahnya. Dengan menikahi Roger mungkin kamu berpeluang untuk mengislamkan banyak orang. Mereka kaya raya dan terpandang. Kau bisa berdakwah dengan baik di tanah kelahiranmu. Dan kau juga bisa membantu orang-orang kecil yang kesusahan.”

Pikirannya beku. Bibirnya kelu. Ubun-ubunnya bagaikan ditancap paku.

Namun tiba-tiba ia memberontak, “Bukankah dakwawh adalah sumber cinta, Ayah!? Apakah menikah dengan selain Roger, menikah dengan lelaki yang lebih bersih dalam pandangannya, tidak juga dakwah!?”

Di pelupuk matanya ayahnya menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat berdosa telah berani mebantah ayahnya. Apalagi tiba-tiba tadzkirah (nasihat untuk diingat) Ustadz Hasbiyallah terngiang di telinganya,

“Jalan dakwah tidak mudah dan mulus, jalan dakwah itu terjal penuh hambatan, penuh onak dan duri, badai sering datang menghadang. Berjalan di jalan dakwah memerlukan ketabahan dan pengorbanan yang besar!”

Ia terus tergugu sendirian di kamar, perang batinnya terus berkecamuk sampai alunan azan subuh terdengar mendayu-dayu.

Jika menyukai cactatan ini sahabat ikuti kisah selajutnya (y) bersambung ??,n