Rabu, 03 September 2014

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 3《♡》


TIGA

KEPULANGAN 

kepulangan Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan Al-qurannya saat mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam itu Umi memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim, semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum bangga anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara makan kakaknya yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, tanpa sendok.

“Entah kenapa, kalau makan semur ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak mantap kalau tidak langsung dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela makannya.

Usai makan mereka bertiga menuju ruang ke tamu. Meskipun tadi sore sudah berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq juga sudah banyak menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan Niyala masih ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq pun kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke Istambul, Turki. Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. Universitas Istambul. Makam Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain sebagainya.
“Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab sutera asl dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi.”

Niyala menerima jilbab berbatik emas khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana Kak? Bagus nggak?”
“Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan pandangan takjub.
“Dasar orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari yang turu dari surga Niyala. Cahaya pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan oleh mentari siang hari!” Sahut Faiq. Wajah Niyala merona mendengar pujian kakak angkatnya itu. Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga hilang. Namun entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang seperti menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji, meskipun dengan sedikit menggombal.
“Duhai, siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahayamu? Siapakah dia yang akan berbahagia mendapatkan kesucian jiwa ragamu? Duhai, alangkah bahagianya di!” Sambung Faiq dengan senyum mengembang.

Umi pun tersenyum melihat polah puteranya yang beraksi seperti bintang sinetron kasmaran itu. Namun Niyala mendengarkan pujian terakhir kakaknya itu justru bagaikan disengat kalajengking. Seketika kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh, Ia teringat kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia teringat dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai mau jadi istrinya. Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh Faiq. Seketika Faiq tergagap.
Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?” Tanyanya pelan.

Niyala mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. ”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa. Niyala tidak tersinggung. Niyala justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak berikan. Sangat bahagia sampai Niyala menangis.”
Alhamdulillah kalau begitu. Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu tidak gratis. Ada harganya.”
”Maksud kakak?”
”Kau harus membayar pujian kakak yang membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga kakak senang?”
”Umi sudah membuatkan menu istimewanya. Kamu juga harus membuatkan menu istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga tahun kakak tidak merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok pagi sarapan dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”

Mereka terus berbincang dan bercanda sampai larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh dari Faiq. Ada tas tangan yang bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin kristal dari Italia. Jilbab Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih gading yang modis. Dan kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.
”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq sambil tersenyum.

”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon istri kakak mana?” Tanya Niyala.

”Jangan kuatir. Kakak sudah mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
Umi tersenyum bahagia mendengar dialog itu. Dua anaknya memang telah dewasa dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa sangat bahagia menerima hadiah dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun Faiq pergi tidak pernah melupakan Umi dan dirinya..
Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang paling dekat langsung mengangkatnya.
”Hallo? Ya? Wa’alaikum salam. Oh Mas Herman. Dimana sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam delapan lah, iInsya Allah. Wa’alaikum salam!”

 Mendengar suara Faiq menjawab telpon itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu pasti kakaknya. Dan dia menelpon minta dijemput. Ia merasa detik-detik kematiannya semakin dekat.
“Siapa Iq?” Tanya Umi.

Masya Allah Mi. Kebahagiaan kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Mereka tadi menelpon dari Bakauhuni. Nanti subuh mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam delapan sampai di pulau Gadung.”
“Baguslah kalau begitu. Memang itu yang kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan menyaksikan puterinya di wisuda jadi dokter. Kalau begitu kita istirahat dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil bangkit dari duduknya.
“Lha aku tidur dimana dong? Kamarku jadi kelas. Masak aku harus tidur di kelas? Bu guru harus bertanggung jawab dong!” Rajuk Faiq pada Niyala yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala menundukkan kepala seolah tidak mendengar gurauan Faiq.
”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.

Niyala masih menunduk diam. Faiq memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis berjilbab putih yang telah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Sepertinya ada sesuatu didalam diri Niyala. Ia mendekati Niyala dan berkata,

”Kok diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang tamu saja. Jangan sedih, santai saja!”
Niyala mengangkat mukanya dan memandang kakaknya dengan senyum yang ia paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak ikhlas. Sudahlah, kakak tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat istirahat yang nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang nyaman seperti sedia kala.”
Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Umi sudah merebahkan badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala rebah disampingnya, namun matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua. Sementara Faiq memasang jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung terlelap.
***

Air mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya menjadi istri Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh hutang-hutangnya. Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Juga istri yang berbakti pada suaminya. Istri yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang pada suaminya.

Apa jadinya kalau dirinya samp
ai menjadi istri sei bangsat Roger itu. Ia tidak bisa membayangkan jika hidup dalam bara neraka selama hayatnya. Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah memuncak pekatnya, tak lama lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan ini adalah puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah baru tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang paling mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam ketidakberdayaan menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi yang mengerikan, bagaikan seekor Domba yang sedang sekarat dalam belitan ular Phyton yang kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya telah kehilangan segalanya. Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.

Ia takut sekali hal itu akan terjadi. Ia takut sekali akan kedatangan ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan ayahnya. Entah kenapa kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang algojo yang akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya ke Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu yang lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Mahamenolong tolonglah aku).
Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh hati yang mendengarnya. Setelah empat tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya itu semakin indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap malam bisa tahajjud bersama. Menangis bersama di hadapan Allah. Lalu anakmu sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harun wangi kesturi. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Bantalnya basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Alangkah malangnya jika menjadi istri Roger yang pernah jadi mucikari itu, yang mungkin sampai sekarang masih jadi mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat malang jika rumahku pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya. Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan daging para pezina. Na’udzubillah.

Suara Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk memakai mukena Umi. Lantas mengambil sajadah dan menggelar didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan penuh khusyuk.

Faiq selesai membaca surat An-nuur. Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam :
Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif ‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa saa’at mustaqarraw wamuqaama! (”Dan orang-orang yang berkata ’Ya Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari kami, seungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”)

Ia mengulang-ngulang ayat itu dan menangis tersedu-sedu. Niyala juga terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan hati. Faiq meneruskan bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika sampai pada ayat tujuh puluh empat :

Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama (”Dan orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”)

Faiq membacanya dengan penuh pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek. Dan terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis makna ayat yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya tersengal-sengal. Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh perasaannya. Faiq meneruskan perasaannya. Begitu selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud dengan air mata berderai. Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima puluh ayat. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya tersedu-sedu. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Ternyata adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai munajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus,

“Dik Niya!”
“Ya Kak!” Jawabnya dengan suara bergetar.
“Masih mau makmum?”

“Insya Allah.”
“Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”
Faiq takbiratul Ikhram. Niyala mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang seperti tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah berdoa sesaat, faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis di atas sajadahnya.

***
Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan,

”Ini adalah hari-hari bahagia bagi Umi. Puteraku Faiq sudah selesai S2nya di London dan puteriku Niyala besok pagi, InsyaAllah akan diwisuda. Di hari yang penuh kebahagiaan ini Umi ingin membicarakan hal penting pada kalian.”

“Apa itu Umi?” tanya Faiq.
”Faiq, apakah kau tahu kenapa kau kuminta pulang?”

”Pasti untuk melihat wisuda Dik Niyala. Iya kan Mi?”
”Ada yang lebih penting dari itu.”

”Apa itu Mi?”

Umi lalu menceritakan masalah Diah panjang lebar. Setelah dianggap jelas lalu Umi bertanya, ”Bagaimana pendapatmu Anakku? Apakah kau bisa menerima Diah sebagai pendampingmu?”

Faiq terdiam sesaat lalu dengan menundukkan kepala ia menjawab, ”Ananda ikut Umi. Jika menurut Umi baik maka menurut Ananda juga baik. Yang paling penting bagi Ananda adalah ridha Umi.”
Umi meneteskan air mata.

“Aku bahagia sekali mendengar jawabanmu, Anakku. Tiga hari lagi Tante Astrid dan Diah akan dolan kemari. Untuk selanjutnya nanti bisa dibicarakan bersama dengan lebih matang. Yang kedua ini masalah Niyala.”

”Ada apa dengan aku Umi?” Tanya Niyala sedikit kaget.
”Begini. Kau sudah Umi anggap seperti anakku sendiri. Dan kau sudah bisa mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau menemani Umi di rumah ini sampai akhir hayat Umi. Kau nanti bisa buka praktek di rumah ini. Kaulah yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau Niyala?”

Niyala terhenyak, “Insya Allah. Jika Allah menghendaki dan jika Kak Faiq mengizinkan.”
“Bagaimana Faiq? Rumah dan tanah sepetak ini memang hakmu. Kaulah ahli waris ayahmu. Jika nanti ditempati Niyala bagaimana, apakah kau ikhlas?”

“Aduh Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang paling baik menurut Umi, yang paling membahagiakan Umi, Ananda akan patuhi dan Ananda penuhi. Ananda ikhlas lahir batin. Niyala bukan orang lain lagi.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu masalahnya selesai.”


Setelah itu Niyala ke dapur untuk membuatkan nasi goreng. Sementara Faiq mengutak-atik laptopnya. Tak lama kemudian sarapan siap. Mereka bertiga menyantapnya dengan santai. Berulang kali Faiq memuji kehebatan Niyala membuat nasi goreng. Ia sampai tambah tiga kali. Hati Niyala senang melihat kakaknya makan masakannya dengan begitu rakusnya. Usai sarapan Faiq dan Niyala meluncur dengan taksi ke Pulo Gadung.


Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya. Mukanya tampak begitu pucat dan sedih. Sebelum sampai di Pulo Gadung, Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut dengan perasaan bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada Niyala? Firasatnya menangkap sesuatu telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis bahagia.

“Niyala, kakak merasa kau sedang menyimpan masalah besar yang kau tidak kuat menanggungnya. Kau telah menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis sedih tapi kau tidak mau mangakuinya.”
Niyala diam. Ia sesunggukan. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus berkata apa pada orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya.

“Kalau kau masih menganggap kakak sebagai orang lain ya pendamlah masalahmu itu. Karena kau tidak lagi percaya bahwa kakak bisa membantumu atau setidaknya meringankan bebanmu. Kakak ingin kau bahagia dan tidak sedih, sebab Umi sangat ingin kau bahagia. Tapi kalau kau tidak memberikan kesempatan pada kakak untuk membantumu, kakak bisa berbuat apa?”

Kata-kata Fiaq mulai masuk ke dalam hati Niyala. Gadis berjilbab biru pun merasa tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran ini sendirian. Akhirnya ia buka suara,
”Niyala punya masalah serius dan Niyala tidak kuasa lagi menanggungnya. Niyala juga belum menemukan jalan keluar yang tepat. Niyala sangat sedih, sebab ini menyangkut hidup mati Niyala.”
”Masalah apakah itu? Apakah Umi benar-benar tidak tahu?”
”Niyala tidak ingin Umi tahu. Pengorbanan Umi sudah terlalu besar pada Niyala. Niyala tidak mau lagi menyusahkan beliau.”

”Apakah kakak boleh tau masalahnya?”
”Dengan satu syarat.”

”Apa itu?”
”Tidak memberitahukan masalah ini pada Umi.”
”Baiklah.”

Niyala lalu menceritakan perihal surat dari ayahnya secara terperinci. Juga tentang Haji Cosmas dan anak bungsunya Roger. Siapa mereka dan apa yang telah mereka perbuat. Lalu dengan terisak Niyala meluapkan segala kecemasan, kekuatiran, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa memberikan keputusan yang tepat. Ia tidak mau jadi istri Roger, namun juga tidak mau menjadi anak durhaka. Faiq mendengarkan segala penuturan adiknya dengan mata berkaca-kaca. Adiknya dalam kesulitan yang serius.

”Selepas shalat tahajjud tadi malam, terlintas dalam benak Niyala sebuah solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah ini. Namun itu perlu bantuan kakak.” kata Niyala.
”Solusinya bagaimana?”

”Niyala sudah menemukan cara untuk mendapatkan uang delapan puluh juta. Namun perlu waktu. Dan Niyala perlu bantuan kakak untuk menolak lamaran Pak Cosmas. Kalau Niyala sendiri yang ngomongnya, Niyala tidak sampai hati. Niyala minta tolong pada kakak agar bersedia menjelaskan pada ayah, bahwa saya tidak mungkin menikah dengan Roger.”
”Terus, kalau ditanya alasannya kenapa bagaimana?”
”Bilang saja Niyala sudah punya calon sendiri. Pokoknya dengan bahasa yang sebijaksana mungkin dan jangan sampai ayah terluka. Juga jelaskan kalau Niyala akan mengusahakan pelunasan uang delapan puluh juta itu sebelum tanggal jatuh tempo.”
”Kalau boleh kakak ingin tanya bagaimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
”Terus terang kak, Niyala belum tahu. Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga. Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala tidak mau menjadi pikiran Umi atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha sebaik-baiknya.”
”Tapi kakak tidak bisa berbohong, Adikku.”
”Maksud kakak?”


”Tidak mungkin kakak mengatakan kau punya calon, padahal selama ini kakak tahu kau tidak punya calon. Apakah kau benar-benar punya calon tanpa sepengetahuan kakak?”
”Bohong untuk kebaikan kan tidak apa-apa?”
”Maaf kakak tidak bisa Dik.”

”Tolonglah kak, sekali ini.”
”Soalnya ini nanti bohongnya akan banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya calonnya siapa? Orang mana? Dan lain sebagainya. Ayo bagaimana?”
”Pokoknya terserah kakak bagaimana jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah kakak rela Niyala menjadi istri seorang mucikari?”

”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi ada dua syaratnya, bagaimana?”
”Apa itu?”
”Pertama, kau harus mencucikan pakaian kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti malam?”

”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak?Na’udzubillah. Apakah kakak lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit kakak?”
”Kakak tidak lupa. Nanti kakak pakai jaket, sehingga tanganmu tidak akan menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya nanti malam di ruang tamu sambil ngobrol santai bersama Umi, ayahmu dan kakakmu. Kan tidak akan ada bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga tidak mau menolongmu!”
Niyala menggeleng-geleng kepala. Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat terakhir kali ia memijit kakaknya saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma mijit kakinya yang terkilir saat main bola dengan para remaja masjid. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan kakaknya itu.
”Tapi Cuma sekali itu kan?”


Faiq menganggukkan kepala.

”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”

”Okey, kalau begitu nanti kakak akan atur bahasanya dan lain sebagainya dengan sebaik-baiknya. Sekarang tersenyumlah, jangan sedih begitu.”

Niyala tersenyum. Faiq menatap wajah adik angkatnya dengan seksama. Niyala tersipu. ”Yuk kita lanjutkan perjalanan. Ayahmu sudah menunggu di masjid terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat. Ia dan Niyala lalu naik taksi dan meluncur ke Pulo Gadung...

ikuti terus kelanjutanya ea bersambung  =D