Minggu, 08 November 2015

''MENGAPA RIDHO SUAMI ITU SYURGA BAGI PARA ISTRI..?

https://m.facebook.com/photo.php?fbid=362894327225266&id=100005141050799&_rdr&lul&ref_component=mbasic_photo_permalink_actionbar&fbt_id=362894327225266#s_91de69e90b43d22f3f2e1263168528aa
===========
1. Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya
seumur
hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih
mencintaimu
yang bahkan belum tentu mencintainya seumur
hidupmu,bahkan sering kala rasa cintanya padamu
lebih
besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.

2. Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung
nafkahnya oleh ayah ibunya hingga dia beranjak
dewasa.
Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah
bertekad menanggung nafkahmu, perempuan asing
yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan
akad
nikah
tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.

3. Suami ridha menghabiskan waktunya untuk
mencukupi
kebutuhan anak-anakmu serta dirimu. Padahal dia
tahu, di
sisi ALLAH, engkau lebih harus di hormati tiga kali
lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya.
Namun
tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia
mencintaimu dan berharap engkau memang
mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi
ALLAH.

4. Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu
dan
berusaha menyelesaikanny a
sendiri. Sedangkan engkau terbiasa
mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia
mampu memberi solusi. padahal bisa saja disaat
engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah
yang lebih
besar. namun tetap saja masalahmu di utamakan
dibandingkan
masalah yang dihadapi sendiri.

5. Suami berusaha memahami bahasa diammu, bahasa
tangisanmu sedangkan engkau kadang hanya mampu
memahami bahasa verbalnya saja. Itupun bila dia
telah
mengulanginya berkali-kali.

6. Bila engkau melakukan maksiat, maka dia akan ikut
terseret ke neraka karena dia ikut bertanggung jawab
akan
maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak
akan
pernah di tuntut ke neraka karena apa yang dilakukan
olehnya adalah hal-hal yang harus dipertanggung
jawabkannya sendiri.

WALLAHUA'LAM...

Semoga wanita yg membaca tulisan ini mendapatkan

jodoh
yg sholeh dan lelaki pula mendapatkan jodoh yg
sholehah Aamiin,,

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Allahumma Sa'khirli zaujan sholihan yakhtibuni wayatazauwajubi, wayakunu sahibanli fiddunyah waljannah..

salam santun uhkwah fillah ,,

Ulfah Uswatun Hasanah
 

Sebuah Doa Suami Sholeh Untuk Isteri Tercinta


Ahmad Ulfah Uswatun Hdd menerbitkan sebuah catatan.

Bismillahirrohmaanirrohiiim…
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiiin…
Ashsholaatu wassalaamu ‘alaa rosuulillaah…
Terimakasih, yaa Robbiii…
Engkau telah menyatukan kami dalam ikatan pernikahan ini. Menghalalkan yang sebelumnya belum halal atas kami. Mengharamkan yang sebelumnya belum haram atas kami. Mengikuti sunnah Rasul-Mu. Menyempurnakan separuh dien-Mu. Menyemai ibadah dalam bilik kemesraan kami. Sembari terus–menerus mengharapkan ridho dan ampunan-Mu…

Penantian panjang yang kami jalani dengan harap-harap cemas bersama doa-doa yang dilantunkan di sudut hening malam, di pagi berkabut, maupun di terik siang yang membakar peluh, telah Engkau usaikan dalam majelis pernikahan yang sederhana dan takzim itu. Ijab Qabul dan Ikrar suci yang diucapkan lirih pada sore hari itu, merambatkan segala rasa yang terpatri dalam di lubuk batin kami. Menggema memenuhi rongga kepala dan hati kami. Hingga air mata haru dan isak tangis kami pun tak kan mampu melukiskannya.

Sembari terus-menerus mengharapkan ridho dan ampunan-Mu, atas dosa-dosa yang telah dan mungkin akan terjadi, kami memohon kepada-Mu, dengan segenap harapan dan kerendahan hati, sudilah kiranya Engkau menuntun kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang Engkau murkai. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang sesat. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang dzhalim. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang fasik. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang kafir. Selamatkanlah kami dalam kehidupan kami di dunia dan di akhirat kelak.

Yaa Robbiii…

Jadikanlah isteriku isteri yang taat menjalankan perintah-Mu, dan tegas meninggalkan larangan-Mu. Jadikanlah ia isteri yang taat kepadaku dalam perjalanan menggapai ridho-Mu. Jauhkanlah ia dari sifat-sifat buruk dan bejat, dari sifat ujub dan khianat, dari sifat dzhalim dan fasik, dan sifat-sifat yang mendatangkan murka-Mu. Jadikanlah ia isteri shalehah, sebaik-baik perhiasan dunia bagiku. Jadikanlah ia sahabat terbaikku dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Jadikanlah ia sahabat terbaikku dalam menuntut ilmu. Menjadi guruku. Menjadi muridku. Menjadi teman belajarku. Menjadi rekan sejawatku dalam berlomba-lomba di jalan kebaikan.

Yaa Robbiii…

Jadikanlah aku imam bagi keluargaku. Imam yang adil dan mengajak kepada jalan yang Engkau ridhoi. Bimbinglah aku dalam memimpin. Tegurlah aku dikala lalai dari tanggung jawabku, dengan teguran Rahman dan Rahim-Mu. Jauhkanlah aku dari sifat-sifat buruk dan bejat, dzhalim dan fasik, dari sifat ujub dan khianat, dan dari segala sifat yang mendatangkan mudharat dan murka-Mu. Kuatkanlah keimananku, sebagai obor penerang bagi keluargaku dalam mengarungi gelapnya kehidupan akhir zaman ini. Bimbinglah kami, yaa Robbal ‘aalamiiin…

Yaa Robbiii…

Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari. Ampunilah dosa Ibu dan Bapak kami. Ampunilah dosa saudara-saudara kami. Ampunilah dosa kerabat-kerabat kami. Ampunilah dosa sahabat-sahabat kami. Ampunilah dosa guru-guru kami. Ampunilah dosa seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Yaa Robbiii…

Karuniailah kami keturunan yang shaleh dan shalehah. Anak-anak yang taat menjalankan perintah-Mu dan tegas meninggalkan larangan-Mu. Anak-anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Karuniailah kami keturunan yang akan teguh memperjuangkan tegaknya dien-Mu di bumi ciptaan-Mu ini.

Yaa, Robbiii…

Karuniailah kami keturunan yang menggenggam erat sunnah Rasul-Mu. Memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam di persada bumi ini. Generasi yang siap mengorbankan segala yang ada padanya untuk mempertahankan aqidahnya, memperjuangkan al-Haq dan mengingkari al-bathil.

Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaaban naar…

Allohummaghfirlanaa bikaroomika ajma’iiin, watubuwazaqi wa’fu ‘an man yaquulu aamiiin aamiiiin aaamiiin….

Washollollohu ‘alaa sayyiidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi ajma’iiin

Walhamdulillahi robbil ‘aalamiiin…

《♡》~ ☆╰♥♥●•☆ SETETES EMBUN CINTA NIYALA 4~ ☆╰♥♥●•☆《♡》

Ahmad Ulfah Uswatun Hdd menerbitkan sebuah catatan.

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 4《♡》



EMPAT

KEDATANGAN 
Pak Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak bercerita tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang almarhumah istrinya yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan Niyala.

”Niyala sangat halus perasaannya, sabar, tekun, penuh pengertian dan tutur bahasanya membuat siapa yang diajak bicara akan menyukainya. Persis sepertialmurhamah ibunya.” ucap Umi mengenang.
”Yah, sifat almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak pernah luntur mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada namun saya tidak bisa melupakannya. Dan saya pun tidak pernah berpikir sampai sekarang untuk mencari penggantinya.” Seloroh pak Rusli Hasibuan dengan mata berkaca-kaca.

Diam-diam Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah ibunya.
Perbincangan yang bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna menjadi ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan menyegarkan suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya selama belajar di Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah di Perancis, Italia, Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat senang medengarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli meminta waktu pada Umi untuk melakukan perbincangan serius usai makan malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.
Dan malam itu. Di ruang makan tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk dekat pintu ruang tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping kirinya Pak Rusli. Sementara Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala sedangkan Herman duduk di samping kiri Pak Rusli. Mereka semua telah selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan menikmati pertemuan di meja makan itu, kecuali Niyala . Ia sangat tegang. Keringat dinginnya telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yan ditakutinya itu.

”Pak Rusli, katanya ada yang mau diperbincangkan. Silahkan mumpung terlihat masih segar dan masih sore.” Umi mengawali pembicaraan.
”Iya ini ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena ini menyangkut dua keluarga. Yaitu keluaraga saya dan keluarga Umi maka kita perlu bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”


”Benar Umi. Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala layaknya anak kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas segala kebaikan Umi. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan kami ingin mengajak Niyala pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda. Dia sangat dibutuhkan masyarakat sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya. Apalagi kebetulan sekali ada seorang tokohmasyarakat yang melamar Niyala untuk anak lelakinya. Dan terus terang saya sangat susah untuk menolak lamaran itu. Kami yakin ini masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat melepas Niyala. Namun kami dengan segala hormat mohon kebijaksanaan Umi.”
Mendengar permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati Umi bergetar. Setelah sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu apakah harus ia melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia sudah terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang sehalus dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan rumah ini pada Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang jika mengikuti isi wasiah darialmarhumah ibu kandung Niyala maka tugas Umi sudah selesai begitu Niyala telah tumbuh dewasa menjadi gadis yang salehah. Tak terasa ada yang meleleh dari sudut mata Umi. Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,
“Tidak mudah memang untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk ditinggal oleh sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan wasiatalmarhumah ibundanya Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak bisa menahan atau meminta Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Maka yang paling bijaksana menurutku ialah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Niyala. Apakah dia akan tetap tinggal di sini atau tinggal di tanah kelahirannya, Sidempuan. Juga masalah pasangan hidupnya, Niyalalah yang paling berhak memilih.”

“Umi sungguh bijaksana. Anakku Niyala kau sudah dengar sendiri apa yang dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang memutuskan, dimana kau akan tinggal dan mengabdikan diri?”
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Suasana menjadi hening beberapa saat lamanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak karuan kacaunya.


“Ayilah Anakku Niyala. Bicaralah. Kau bebas menentukan pilihanmu. Seandainya pun kau memilih Sidempuan Umi ikhlas kok. Umi tetap menganggapmu sebagai anak Umi. Umi tidak akan berubah. Kau jangan bimbang menentukan pilihan yang kau anggap paling membuat dirimu bahagia. Di Sidempuan sana kau akan berkumpul dengan keluarga besarmu yang sangat mencintaimu.” Ujar Umi memecah keheningan sambil mengusap kepala Niyala.


Mata Niyala berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki kanannya dengan halus menyepak kaki kiri Faiq. Ia ingin Faiq angkat bicara. Namun Faiq tetap diam tak bergeming dan tak bersuara. Rasanya Niyala ingin menangis. Ia sudah tidak tahan. Bibirnya benar-benar kelu dan tak mungkin bisa bicara dengan baik. Ia menurunkan tangan kanannya dan mencubit paha Faiq dengan sekeras-kerasnya. Tak ayal Faiq tersentak namun ia berusaha menahan rasa sakitnya. Faiq berdehem. Niyala melepaskan cubitannya.
”Boleh ananda bicara Pak Rusli dan Umi?”


”O silahkan Nak Faiq. Silahkan. Kita memang sedang bermusyawarah.” Sahut Pak Rusli, sedangkan Umi diam saja.
”Begini, ananda bicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini sesungguhnya pernah diutarakan Niyala pada ananda. Baik selama ananda ada di rumah, maupun selama ananda di luar negeri. Kami tak pernah berhenti berkomunikasi. Sebenarnya Niyala ingin sekali untuk pulang ke kampung halamannya. Niyala sangat mencintai keluarga besarnya dan tanah kelahirannya. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan Umi ketahui bahwa Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali berterus terang pada saya, baik secara langsung maupun melalui surat, bahwa Niyala sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang ia cintai mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak memperistri Niyala. Cinta keduanya telah terjalin tak kurang dari sebelas tahun. Tepatnya sejak Niyala masuk SMP. Apakah mungkin kiranya cinta yang telah terjalin selama sebelas tahun lamanya ini akan diputus begitu saja? Siapakah orang yang tega memutuskannya? Dan saya tahu persis bahwa Niyala sangat menjaga kesucian dirinya dan kesucian cintanya. Ia tidak melakukan maksiat dengan cintanya. Menurut ananda, tindakan yang paling bijak diambil oleh Pak Rusli dan Umi adalah merestui dan menyegerakan pernikahan adik Niyala dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dan saya berani menjamin bahwa orang yang dicintainya dan mencintai Niyala akan berusaha sekuat tenaganya untuk membahagiakan Niyala. Sebab saya tahu cinta mereka berdua sangat tulus. Ini menurut pendapat ananda.”


Muka pak Rusli pucat. Umi menangkap perubahan itu. Umi kuatir Pak Rusli kecewa dengan dirinya. Karena dirinya tidak bisa mengasuh Niyala. Bagaimana mungkin ia membiarkan anak SMP menjalin cinta. Umi sendiri kaget dengan penjelasan Faiq. Ia belum yakin dengan apa yang diutarakan anaknya itu. Dengan nada yang halus, ia bertanya pada Niyala,


”Anakku Niyala, benarkah apa yang dikatakan oleh kakakmu Faiq?”
Niyala mengangguk. Mata Umi berkaca-kaca. Dengan terisak ia berkata,
”Sebenarnya Umi sangat kecewa mengetahui kenyataan ini. Kenapa masalah sepenting ini kau sembunyikan dari Umi? Apakah kau tidak percaya pada Umi? Selama ini Umi tidak pernah menyembunyikan sesuatu darimu Anakku. Umi sangat mempercayaimu. Apakah masih kurang bijaksana Umi mengasuhmu, Anakku? Sekarang coba katakanlah pada Umi siapa lelaki yang kau cintai sejak SMP sampai saat ini itu? Siapakah dia Anakku?”



Niyala bingung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Permasalahannya menjadi begitu rumit. Ia benar-benar tidak punya jawaban. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengalir. Kaki kanannya menyodok kaki kiri Faiq. Sesaat lamanya Umi menunggu jawaban dari mulut Niyala tapi tidak juga keluar.


”Anakku jawablah! Siapa dia? Masalah ini tidak akan tuntas jika Umi dan Ayahmu tidak tahu siapa orang yang kau cintai itu. Jika lelaki itu memang pilihanmu, maka Umi akan merestuinya. Katakanlah siapa dia?”
Niyala tidak menjawab, ia kembali mencubit paha Faiq. Ia minta kakak angkatnya itu harus bicara. Sebab ini semua yang membuat skenarionya dia. Jadi dia yang harus menuntaskannya.
”Begini Umi. Niyala sangat pemalu untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, biar ananda saja yang menjelaskan siapa orang yang di cintai Niyala. Namun sebelumnya ananda minta Umi tidak marah bila mendengar namanya. Apakah Umi bersedia berjanji tidak akan marah? Sebab ananda takut Umi akan marah.” kata Faiq.


”Baiklah, Umi berjanji tidak akan marah.”
”Nama lengkap lelaki yang dicintai Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam.”
”Apa!? Jadi yang dicintai dan mencintai Niyala itu kau sendiri Faiq?”
Semua mata tertuju pada Faiq, termasuk mata Niyala. Semuanya terkejut dengan pengakuan Faiq itu. Niyala sendiri tidak habis pikir, kakaknya sampai nekad bersandiwara seperti itu. Ia sama sekali tidak mengira kakak angkatnya akan segila itu membelanya.

’Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya.”
”Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku tahu kau mencintai Niyala, tapi itu cinta seorang kakak pada adiknya. Itu bukan cinta sepasang kekasih.”


”Tidak Umi. Ananda mencintai adik Niyala seperti seorang kakak pada adiknya juga sekaligus seperti Yusuf mencintai Zulaikha, atau Romeo mencintai Juliet. Ini ananda berkata dengan sejujurnya dan sebenar-benarnya. Kalau Umi tidak percaya, silahkan Umi bertanya sendiri pada Dik Niyala.”
”Benarkah yang dikatakan kakakmu Niyala?”
Untuk kali ini Niyala membuka suara,


”Benar Umi. Apakah Umi lupa, sebenarnya kami bukan kakak dan adik. Dan kami bukan mahram. Kami saling mencintai, namun kami tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat menodai kesucian diri, hati dan jiwa. Kami telah menitipkan rasa cinta kami kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dan biarlah malam ini menjadi malam yang menentukan, apakah cinta suci kami akan berlanjut ataukah akan terputus ditengah jalan.”


”Bagaimana ini Umi? Saya tidak mengerti apa yang terjadi.” Tukas Pak Rusli bingung berbaur cemas.
”Saya juga seperti dalam mimpi Pak. Bagaimana mungkin saya yang sering tidur satu kasur dengan Niyala sampai tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.” Jawab Umi.
Niyala sendiri tidak akan tahu seperti apa akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang jelas ia sedikit merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. Untuk sementara ia merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir ini menghantuinya.
”Pak Rusli, yang terjadi adalah ananda mencintai Niyala puteri Bapak. Dan Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon Bapak berkenan merestui kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi tidak bermimpi. Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.


Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam saja akhirnya berbicara juga,
”Sebaiknya ayah tidak usah pikir panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka berdua. Adik Faiq ini jelas jauh lebih baik daripada Si Roger puteranya Pak Cosmas itu. Yang paling penting adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu jelas ada di depan mata. Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan memahami. Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa tidak Dik Niyala nanti.”


”Saya pasrah. Saya ikut pada kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.
”Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.
”Umi, ananda mohon terimalah kenyataan ini. Apakah saling mencintai itu dosa? Perasaan cinta itu datang dengan sendirinya. Masuk begitu saja kedalam hati kami. Kami berdua saling mencintai Umi. Apakah Umi rela kami hidup menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana akhir-akhir ini Dik Niyala sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir akan kehilangan orang yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan menghormati Umi sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab orang yang dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda yakin seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius. Niyala terkesima melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas mengimbangi,


”Saya sudah bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Kak Faiq. Biarlah cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa sampai mati. Bukankah Umi telah mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
Kalimat yang diucapkan Niyala dengan tegas ini membuat perempuan separuh baya itu tersentak. Ia sadar, yang tengah ia hadapi kini adalah gelombang cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak. Jika tidak, maka penyesalan yang akan ia petik.
”Kalau memang sudah demikian bulat dan kuat cinta kalian, Umi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merestui kalian. Umi sangat mencintai kalian berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan ini, namun Umi tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan tetap hidup satu atap dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan. Kalau begitu, malam ini juga kita musyawarahkan hal-hal mengenai pelaksanaan pernikahan kalian.”


”Mereka berdua adalah orang-orang yang terpelajar. Pasti mereka telah membuat rencana yang matang. Jadi kita serahkan saja sepenuhnya masalah pelaksanaan pernikahan mereka pada mereka. Bukankah begitu ayah?” sahut Herman.


Pak Rusli mengangguk pasrah. Perasaan bahagia dan sedih bercampur baur dalam hatinya. Bahagia karena puterinya sebentar lagi akan menjadi dokter dan memiliki seorang suami yang baik dan berpendidikan tinggi. Sedih jika mengingat hutangnya delapan puluh juta pada Pak Cosmas dan ia akan bilang apa pada Pak Cosmas. Padahal seluruh ongkos ke Jakarta ini pun diberi oleh Pak Cosmas.
”Apa kalian sudah punya rencana?” Tanya Umi dengan memandang Niyala dan Faiq bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa. Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang berusaha menyelamatkan dirinya.

”Alhamdulillah Umi, kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi, Pak Rusli dan Mas Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan melangsungkan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati Niyala tiba-tiba berdesir mendengar akad nikah secepatnya. Apakah kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar sedang bebicara dengan siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga melirik Niyala. Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya berpikir, pokoknya jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab adalah kakaknya,Faiq.
”Kapan rencana kalian mau akad nikah?” Tanya Umi.
”Secepatnya.” Sahut faiq.


”Ya, pastinya kapan?”
”Sebelum Ananda menjawab waktunya. Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali, apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman benar-benar merestui pernikahan kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami penuh berkah, berlimpah doa dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika ada satu zarrahrasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah selamanya.”
”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”
”Bapak juga ikhlas lahir batin.”
”Saya juga ikhlas adik perempuanku satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”
Alhamdulillah. Kami sangat bahagia mendengarnya. Dik niyala, kau sudah mantap kan dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahit batin kan Dik?” Kata Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap meyakinkan. Ia menatap wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main apa sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata Faiq yang jernih bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.
”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu??”



Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.

”Ini sungguh dan serius. Kita akan menikah secepatnya. Dan kita akan tetap tinggal bersama di rumah mungil ini dengan penuh cinta. Kita akan mereda masa depan bersama. Dan akan membesarkan anak-anak kita nanti bersama. Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”
Tangis Niyala meledak, dengan suara terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”
Ruangan itu diselimuti rasa haru yang luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia menangis seolah merasakan kebahagiaan Niyala. Cintanya yang terpendam sebelas tahun yang masih dalam impian akan menjadi kenyataan. Umi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga menangis. Ia menangis karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya seperti itu karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis karena masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan kakaknya Faiq itu cuma sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya sementara. Ataukah Faiq bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai istrinya selamanya. Sebab ia merasa masalahnya sudah tidak sekedar main-main lagi. Kalaulah main-main, apakah permainan ini tidak akan menyakitkan semuanya?. Menyakitkan Umi, ayahnya dan Mas Herman.
”Kak Faiq, jelaskan padaku...apa arti semua ini? Kakak sedang bersandiwara bukan?” Lanjut Niyala dengan terisak dan air mata berkucuran.


”Adikku Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak sungguh-sungguh hendak menikahimu secepatnya. Kakak tidak mungkin bisa hidup tanpa dirimu disamping kakak. Kakak sangat mencintaimu. Dan kakak tidak pernah dan tidak akan pernah mencintai wanita selain Umi dan dirimu. Kakak ingin kau menjadi istri kakak, menjadi pendamping kakak mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridha Ilahi. Dan kakak ingin kaulah yang melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak kakak. Kakak berjanji akan membawamu ke istana kebahagiaan semampu kakak. Ini bukan sandiwara lagi. Ini serius. Apakah kau ragu untuk melangkah ke pernikahan, mengarungi hidup dengan kakak, Adikku?” Kali ini Faiq menjawab dengan segenap perasaannya. Kedua matanya basah.


Mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Faiq dengan penuh kesungguhan itu, Niyala merasa ada hawa dingin yang turun dari langit. Hawa dingin itu merasuk di ubun-ubunnya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Hatinya merasakan kesejukan yang luar biasa. Tetesan air matanya semakin deras.
”Adik ikut kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak.” Pelan Niyala sambil menunduk. Perasaan haru, bahagia, cinta, optimis dan surprise membaur jadi satu dan berpendar-pendar dalam dadanya. Ia belum pernah merasakan perasaan seindah itu sebelumnya.
”Semuanya sudah terang. Jadi dalam rencanamu, kapan akadnya akan dilangsungkan, Anakku? Tanya Umi sambil memandang wajah Faiq lekat-lekat.


”Ananda berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah akan kami laksanakan malam ini juga!”
Tak ayal Niyala, Umi, Pak Rusli dan Herman kaget mendengarnya.
”Ini bukan lelucon Anakku!” Seru Umi.


”Ananda serius, Umi. Ananda tidak main-main. Untuk sebuah acara sakral yang cuma sekali dilaksanakan dalam hidup, apa ananda akan main-main? Ananda sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ananda sudah mengontak KUA dan membereskan administrasinya. Ananda juga sudah mengundang tokoh-tokoh masyarakat, remaja masjid dan masyarakat sekitar sini. Ananda sudah mengundang Pak Kiai Imam Jazuli. Ananda juga sudah mempersiapkan katering dan handycamnya. Semua sudah ananda persiapkan di Aula Islamic Centre, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan dimulai. Orang-orang sudah menunggu disana. Dua puluh menit lagi akan ada dua mobil datang kemari. Sekarang sebaiknya Niyala, Umi, Pak Rusli, dan Mas Herman bersiap-siap. Adik Niyala, kau cucilah mukamu. Berdandanlah yang anggun dan jangan berlebihan, namun jangan juga sampai ada guratan kesedihan di wajahmu. Kakak ingin kau bahagia. Gaun pengantin khas Turki yang kakak berikan tadi pagi pakailah. Sementara kakak juga akan bersiap-siap. Kalau begitu, kita tutup dulu musyawarah ini dengan doakafaratul majlis. Lalu kita semua bersiap-siap.”
Setelah ditutup dengan doa. Empat orang itu sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara sakral yang tidak terduga-duga.
***


Niyala membasuh wajahnya dengan lotion pembersih wajah. Lalu mengambil air wudhu. Di kamarnya ia menyempatkan untuk shalat dua rakaat meminta ketenangan dan kebahagiaan. Setelah itu ia berdandan seperti yang diminta kakak angkat yang sangat ia kagumi dan ia cintai, yang kini tiba-tiba menjadi calon suaminya. Ia memakai gaun pengantin khas Turki. Kepalanya ditutupi jilbab sutera Turki. Ia berdandan dengan cepat namun hasilnya tetap luar biasa. Tanpa berdandan pun Niyala sudah cantik mempesona. Di luar terdengar suara derum mobil.


Faiq keluar dari kamarnya dengan pakaian biru telur yang menawan. Peci hitam bersulam emas membuat dia semakin tampan. Lalu Niyala keluar dati kamarnya. Keduanya berpandangan sesat lalu saling menunduk. Hati keduanya berbunga-bunga. Baru kali ini mereka berpandangan namun disertai perasaan sangat indah yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tak lama kemudian Umi, Pak Rusli dan Herman sudah siap. Merekapun meluncur menuju Islamic Centre. Di sana semuanya telah siap. Lampu hias menyala gemerlapan. Para tetangga, para pemuda dan tokkoh-tokoh masyarakat sudah memenuhi ruangan.
Malam itu, akad nikah antara Niyala Binti Rusli Hasibuan dan Muhammad Faiq Bin Saiful Anam berlangsung dengan penuh khidmat, dan dalam acara yang sakral itu Faiq kembali memberikan kejutan yang membuat Niyala dan ayahnya juga seluruh yang hadir terkesima. Faiq memberikan mahar sebuah mushaf cantik yang ia beli di Cairo, uang tunai senilai 85 juta rupiah dan hafalan surat Ar-Rahman.

Saat Faiq membaca surat Ar-Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan suaranya mampu membuat semua yang hadir meitikkan air mata. Setiap kali Faiq melantunkan ayat ”Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzdzibaan (artinya :”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”). Dengan diiringi isak tangisnya, semua yang hadir ikut terisak menangis. Dan diantara sekian banyak orang menangis, yang paling dalam tangisannya sampai kerelung jiwa adalah Niyala. Pintu hatinya terasa terbuka bagaikan melihat keagungan Tuhannya. Saat itulah ia merasakan bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Ia merasakan betapa agungnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Setelah khutbah nikah dan do’a, acara dilanjutkan dengan pesta walimah yang cukup meriah. Grup rebana dan shalawat remaja mesjid tampil memukau. Seorang anak TPA berjilbab merah jambu dan berpakaian merah jambu membacakan sebuah puisi berjudul ’Bidadariku’. Suaranya yang jernih dan merdu mampu menyihir seluruh manusia yang ada dalam aula itu. Pesan puisi itu tersampaikan dengan dahsyat :


”Mas kawin untuk bidadariku
Adalah sekuntum bunga melati
Yang aku petik dari sujud sembahyangku
Setiap hari
Buah cintaku dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan
Yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiap zaman
Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad yang tidak mengenal Tuhan
Abad-abad hilang naluri kemanusiaan
Abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia membela kebenaran
Dan keadilan
Estafet perjuangan kami berelanjutan
Sambung-menyambung pada setiap generasi
Tak berpenghabisan dan terus bergerak
Mengaliri ladang-ladang peradaban
Seperti cintaku pada bidadariku
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para Nabi”


Niyala sangat tersebtuh mendengar puisi itu. Ia berkata dalam hati, ’Oh puisi yang indah! Siapakah dia gerangan yang mencintai istrinya dengan begitu indah dan sucinya ? Siapakah dia yang cintanya pada istrinya yang tak berpenghabisan, yang terus tumbuh semakin subur, dari hari ke hari, laksana kalimat-kalimat suci, di hati para salehin, di hati para nabi ? Siapakah dia yang menulis puisi itu ? Kenapa anak itu tidak lebih dahulu memperkenalkan siapakah pembuatnya?”

’Tiga detik kemudian pertanyaan Niyala terjawab. Usai membaca puisi gadis berjilbab merah jambu itu berkata,

bapak-bapak, ibu-ibu dan hadirin sekalian yang dirahmati Allah. Puisi ini ditulis dengan segenap tetesan jiwa oleh kakak Muhammad Faiq saat masih kuliah di Mesir untuk seorang bidadari impiannya. Yang saat itu dia belum tahu siapa bidadrinya? Dan ternyata bidadarinya yang sangat dicintainya adalah Mbak Niyala yang cantik jelita!”


Tak ayal, tepuk tangan langsung bergemuruh membahana. Beberapa ibu tampakk mengusap ujung matanya dengan sapu tangan. Hati Niyala berdesir kencang. Ia merasakan kesejukan luar biasa. Tiada henti-hentinya mendengdangkan hamdalah. Entah dari mana datangnya tiba-tiba ia teringat potongan sajak ”mendalam” Armin Pane :
Kasih lari mendatang,
Bersua pantai tujuan sayang.
Memecah menghebat gembira,
Melama, damai, kasih mendalam.
* * *


Acara akad nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit. Setelah semua hadirin memberi ucapan selamat, dua pengantin dan keluarganya kembali ke rumah. Mereka tidak langsung istirahat. Tapi berbincang-bincang di ruang tamu dengan wajah berhias bahagia. Niyala masih mengenakan gaun pengantinnya. Dan Faiq belum mengganti pakaiannya.
”Faiq anakku, Umi sangat bangga padamu, Nak. Kalau boleh ibu tanya dari mana kau dapatkan biaya sebanayak itu?”


Faiq yang duduk di sofa panjang di samping Niyala mengambil nafas panjang. Lalu menjawab,
”Anandalah yang semestinya bangga memiliki seorang ibu seperti Umi. Umilah yang berkorban dan pontang-panting mencarikan biaya agar ananda bisa kuliah ke Mesir. Kalau bukan karena umi, Faiq tidak akan menjadi seperti sekarang. Faiq juga tidak akan punya biaya sebanyak itu. Itu selalu mengajarkan agar ulet, sabar dan tidak menyerah. Dan itulah yang Faiq kerjakan. Umi juga sering mewanti-wanti agar Faiq hidup bersahaja dan hemat, itu j uga yang Faiq kerjakan. Dulu Faiq pernah kirim uang beberapa ratus dolar pada Umi tapi Umi menginginkan agar Faiq menyimpannya untuk hari depan Faiq. Dan semua nasihat Umi Faiq indahkan. Alhamdulillah berkat do’a restu Umi, Ananda dapat beasiswa S2 di London. Beasiswa itu hanaya cukup buat memenuhi kebutuhan ananda. Namun ananda bisa bekerja part time di sebuah toko. Gajinya ananda tabung. Setelah itu ananda mendapat tawaran untuk mengajar bahasa Arab di Islamic Centre. Ananda pun tinggal di sana jadi uang sewa apartemen bisa ananda tabung. Alhamdulillah dengan itu semua ananda bisa membiayai pernikahan ini. Dan saat ini ananda massih punya sisa tabungan sebesaar 15 ribu pounsterling.Insya Allah cukup untuk membiayai Dik Niyala untuk mengambil Specialis.”
Bagaimana kau melakukan ini? Apakah telah benar-benar kau persiapkan jauh-jauh hari? Tanya Umi lagi.
”Tidak Umi semuanya faiq siapakan tadi pagi sepulang dari Pulo Gadung. Umi apa lupa, dulu kan Faiq Ketua Remaja Masjid dan Humas Karang Taruna. Jadi, semuanya mudah saja. Terus, kepala KUA nya itu kan teman satu bangku Faiq waktu SD. Yang jelas, semuanya alhamdulillah berjalan dengan baik. Namun, Faiq minta maaf pada Umi, Pak Rusli dan Mas Herman. Dalam musyawarah tadi Faiq telah berbohong. Faiq minta maaf.”


”Apa itu Anakku kalau boleh Umi tahu?”
”Faiq mengatakan telah menjalin cinta dengan Dik Niyala sejak SMP itu sebenarnya Faiq berbohong. Maafkan Faiq. Yang benar, sejak dulu Faiq menganggap Niyala seperti adik sendiri. Dan sebetulnya Faiq mulai merasa mencintai Dik Niya bukan sebagai adik adalah sejak tadi pagi. Sejak Umi mengungkapkan rasa tidak bisa berpisah dengan Dik Niya. Sejak Umi merasa tidak ada perempuan yang bisa memahami dan mencintai Umi melebihi Dik Niya. Sejak itulah Faiq meraba hati Faiq, ternyata Faiq juga berat berpisah dengan Dik Niya. Dan setelah Dik Niya minta pada Faiq untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, maka Faiq langsung mempersiapkan segalanya.”
Umi, Pak Rusli dan Herman manggut-manggut mendengar pengakuan Faiq. Mata mereka semua berkaca-kaca.


”Kalau kau Niya sejak kapan cintamu pada kakak angkatmu berubah menjadi cinta seorang gadis pada pemuda pujaannya?” celetuk Herman.
”Kalau dia kayaknya saat pertama kali lihat aku dulu, sejak masih ingusan,hehehe...” Serobot Faiq sambil tertawa renyah. Semua ikut tertawa kecuali Niyala.
”Ih, kakak nakal! Main tuduh sembarangan!” Sewot Niyala.


”Lalu sejak kapan?”
”Sejak musyawarah tadi. Sejak kakak meyakinkan pada Niya, bahwa kakak tidak sedang bersandiwara, tapi kakak bersungguh-sungguh. Sejak itulah rasa kagumku pada kakak berubah menjadi rasa cinta.”
Umi menitikkan air mata mengetahui kisah cinta dua anak yang disayanginya itu. Ia hanya bisa mengucapkan Subhanallah dalam hati.
”Emm...Nak Faiq, maharnya apa tidak terlalu besar?” Sahut Pak Rusli dengan mata basah dan tangan bergetar memegang tas kecil berisi uang tunai 85 juta rupiah.
”Masya Allah. Mahar itu tidak ada nilainya untuk seorang gadis shalehah seperti Niyala. Dunia seisi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang istri shalehah. Bagi Faiq, Dik Niyala tidak bisa dinilai dengan materi.”


Niyala menunduk dengan air mata kembali menetes mendengar perkataan suaminya. Ia merasa dirinya sangat dihargai dan dimuliakan. Hatinya tiada henti memuji keagungan Allah. Ia berjanji akan benar-benar menjadi istri yang shalehah untuknya dan akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.
”Apakah masih ada yang perlu dibicarakan? Saya capek sekali. Saya perlu istirahat.” Ucap Faiq.
”Memang sudah malam. Saatnya istirahat. Apalagi besok pagi kita ada acara menghadiri wisuda Niyala.”
Umi bangkit dari duduknya diikuti pak Rusli dan Herman. Faiq berbisik manja di telinga Niyala, ”Faiq malam ini tidur dimana Bu Dokter? Kamar Faiq ditempati ayah sama kakakmu. Masak Faiq harus tidur di ruang tamu? Bolehkah Faiq tidur di kamar Bu Dokter?”


Niyala tidak menjawab. Ia meraih kepala Faiq dan hendak menciumnya. Faiq meletakkan telunjuk tangan kanannya di depan bibirnya. ”Sst jangan disini”. Dengan gerakan cepat Faiq membopong Niyala ke kamar. Umi, Pak Rusli dan Herman menyaksikan itu dengan tersenyum geli.
Sampai di kamar, Faiq meletakkan Niyala dan mendudukkannya perlahan di sisi ranjang. Faiq mengamati wajah istrinya itu lekat-lekat. Maha suci Allah yang telah mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
”Kakak capek?” Lirih Niyala

”He eh.”
”Mau dipijit?”

”He eh.”
”Kak, boleh Adik minta sesuatu?”
”Boleh.”

”Adik tahu kakak capek. Tapi adik minta, malam ini juga wisudalah adik menjadi seorang perempuan yang paling berbahagia di dunia, sebelum besok adik di wisuda menjadi sarjana Kedokteran.”
”Maksud Adik?”

Niyala mengerdipkan mata.
Faiq tersenyum dan berkata, ”Baiklah, kakak mengerti maksudmu. Tapi tolong kakak dipijitin dulu donk, biar segar. Kakak capek banget. Setelah segar, kita shalat bareng dua rakaat. Bermunajat kepada Allah yang telah memberikan nikmat maha agung kepada kita berdua. Barulah kakak akan mewisudamu dan membawamu ke taman surga.”

”Tapi nanti saat shalat jangan baca surat yang panjang ya kak? Membaca surat yang pendek saja.”
”Lho justru nanti rakaat pertama kakak mau membaca Al-Baqarah sampai selesai. Rakaat kedua mau membaca Ali-Imran.”

“Jangan kak!” Rengek Niyala manja.
“Kenapa?”
“Ah kakak, nanti keburu pagi.”

Faiq tersenyum.
Niyala menatapnya dengan penuh cinta.
Di luar kamar purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh genting dan pepohonan. Angin mengalir sepoi-sepoi. Langit cerah. Hawa sejuk perlahan mengirim embun pada rerumputan. Bintang-bintang bertaburan. Sepasang kunang-kunang menari-nari di angkasa. Di iringi tasbih alam, keduanya tampak begitu indah memadu cinta.

TAMAT