
Dari Abu Ruqayyah, Tamim bin Aus Ad-Daari ?Radhiallahu ?Anhu, bahwasanya Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: ? Agama adalah nasehat?. Kami Bertanya: ?Untuk siapa?? Beliau menjawab: ?Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin seluruhnya.? (HR. Muslim)
Rabu, 03 September 2014
《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 3《♡》
TIGA
KEPULANGAN
kepulangan Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan Al-qurannya saat mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam itu Umi memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim, semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum bangga anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara makan kakaknya yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, tanpa sendok.
“Entah kenapa, kalau makan semur ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak mantap kalau tidak langsung dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela makannya.
Usai makan mereka bertiga menuju ruang ke tamu. Meskipun tadi sore sudah berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq juga sudah banyak menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan Niyala masih ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq pun kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke Istambul, Turki. Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. Universitas Istambul. Makam Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain sebagainya.
“Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab sutera asl dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi.”
Niyala menerima jilbab berbatik emas khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana Kak? Bagus nggak?”
“Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan pandangan takjub.
“Dasar orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari yang turu dari surga Niyala. Cahaya pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan oleh mentari siang hari!” Sahut Faiq. Wajah Niyala merona mendengar pujian kakak angkatnya itu. Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga hilang. Namun entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang seperti menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji, meskipun dengan sedikit menggombal.
“Duhai, siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahayamu? Siapakah dia yang akan berbahagia mendapatkan kesucian jiwa ragamu? Duhai, alangkah bahagianya di!” Sambung Faiq dengan senyum mengembang.
Umi pun tersenyum melihat polah puteranya yang beraksi seperti bintang sinetron kasmaran itu. Namun Niyala mendengarkan pujian terakhir kakaknya itu justru bagaikan disengat kalajengking. Seketika kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh, Ia teringat kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia teringat dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai mau jadi istrinya. Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh Faiq. Seketika Faiq tergagap.
Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?” Tanyanya pelan.
Niyala mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. ”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa. Niyala tidak tersinggung. Niyala justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak berikan. Sangat bahagia sampai Niyala menangis.”
”Alhamdulillah kalau begitu. Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu tidak gratis. Ada harganya.”
”Maksud kakak?”
”Kau harus membayar pujian kakak yang membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga kakak senang?”
”Umi sudah membuatkan menu istimewanya. Kamu juga harus membuatkan menu istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga tahun kakak tidak merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok pagi sarapan dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”
Mereka terus berbincang dan bercanda sampai larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh dari Faiq. Ada tas tangan yang bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin kristal dari Italia. Jilbab Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih gading yang modis. Dan kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.
”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq sambil tersenyum.
”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon istri kakak mana?” Tanya Niyala.
”Jangan kuatir. Kakak sudah mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
Umi tersenyum bahagia mendengar dialog itu. Dua anaknya memang telah dewasa dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa sangat bahagia menerima hadiah dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun Faiq pergi tidak pernah melupakan Umi dan dirinya..
Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang paling dekat langsung mengangkatnya.
”Hallo? Ya? Wa’alaikum salam. Oh Mas Herman. Dimana sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam delapan lah, iInsya Allah. Wa’alaikum salam!”
Mendengar suara Faiq menjawab telpon itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu pasti kakaknya. Dan dia menelpon minta dijemput. Ia merasa detik-detik kematiannya semakin dekat.
“Siapa Iq?” Tanya Umi.
“Masya Allah Mi. Kebahagiaan kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Mereka tadi menelpon dari Bakauhuni. Nanti subuh mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam delapan sampai di pulau Gadung.”
“Baguslah kalau begitu. Memang itu yang kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan menyaksikan puterinya di wisuda jadi dokter. Kalau begitu kita istirahat dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil bangkit dari duduknya.
“Lha aku tidur dimana dong? Kamarku jadi kelas. Masak aku harus tidur di kelas? Bu guru harus bertanggung jawab dong!” Rajuk Faiq pada Niyala yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala menundukkan kepala seolah tidak mendengar gurauan Faiq.
”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.
Niyala masih menunduk diam. Faiq memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis berjilbab putih yang telah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Sepertinya ada sesuatu didalam diri Niyala. Ia mendekati Niyala dan berkata,
”Kok diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang tamu saja. Jangan sedih, santai saja!”
Niyala mengangkat mukanya dan memandang kakaknya dengan senyum yang ia paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak ikhlas. Sudahlah, kakak tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat istirahat yang nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang nyaman seperti sedia kala.”
Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Umi sudah merebahkan badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala rebah disampingnya, namun matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua. Sementara Faiq memasang jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung terlelap.
***
Air mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya menjadi istri Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh hutang-hutangnya. Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Juga istri yang berbakti pada suaminya. Istri yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang pada suaminya.
Apa jadinya kalau dirinya samp
ai menjadi istri sei bangsat Roger itu. Ia tidak bisa membayangkan jika hidup dalam bara neraka selama hayatnya. Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah memuncak pekatnya, tak lama lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan ini adalah puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah baru tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang paling mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam ketidakberdayaan menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi yang mengerikan, bagaikan seekor Domba yang sedang sekarat dalam belitan ular Phyton yang kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya telah kehilangan segalanya. Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.
Ia takut sekali hal itu akan terjadi. Ia takut sekali akan kedatangan ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan ayahnya. Entah kenapa kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang algojo yang akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya ke Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu yang lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Mahamenolong tolonglah aku).
Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh hati yang mendengarnya. Setelah empat tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya itu semakin indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap malam bisa tahajjud bersama. Menangis bersama di hadapan Allah. Lalu anakmu sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harun wangi kesturi. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Bantalnya basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Alangkah malangnya jika menjadi istri Roger yang pernah jadi mucikari itu, yang mungkin sampai sekarang masih jadi mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat malang jika rumahku pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya. Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan daging para pezina. Na’udzubillah.
Suara Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk memakai mukena Umi. Lantas mengambil sajadah dan menggelar didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan penuh khusyuk.
Faiq selesai membaca surat An-nuur. Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam :
Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif ‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa saa’at mustaqarraw wamuqaama! (”Dan orang-orang yang berkata ’Ya Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari kami, seungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”)
Ia mengulang-ngulang ayat itu dan menangis tersedu-sedu. Niyala juga terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan hati. Faiq meneruskan bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika sampai pada ayat tujuh puluh empat :
Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama (”Dan orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”)
Faiq membacanya dengan penuh pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek. Dan terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis makna ayat yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya tersengal-sengal. Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh perasaannya. Faiq meneruskan perasaannya. Begitu selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud dengan air mata berderai. Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima puluh ayat. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya tersedu-sedu. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Ternyata adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai munajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus,
“Dik Niya!”
“Ya Kak!” Jawabnya dengan suara bergetar.
“Masih mau makmum?”
“Insya Allah.”
“Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”
Faiq takbiratul Ikhram. Niyala mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang seperti tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah berdoa sesaat, faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis di atas sajadahnya.
***
Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan,
”Ini adalah hari-hari bahagia bagi Umi. Puteraku Faiq sudah selesai S2nya di London dan puteriku Niyala besok pagi, InsyaAllah akan diwisuda. Di hari yang penuh kebahagiaan ini Umi ingin membicarakan hal penting pada kalian.”
“Apa itu Umi?” tanya Faiq.
”Faiq, apakah kau tahu kenapa kau kuminta pulang?”
”Pasti untuk melihat wisuda Dik Niyala. Iya kan Mi?”
”Ada yang lebih penting dari itu.”
”Apa itu Mi?”
Umi lalu menceritakan masalah Diah panjang lebar. Setelah dianggap jelas lalu Umi bertanya, ”Bagaimana pendapatmu Anakku? Apakah kau bisa menerima Diah sebagai pendampingmu?”
Faiq terdiam sesaat lalu dengan menundukkan kepala ia menjawab, ”Ananda ikut Umi. Jika menurut Umi baik maka menurut Ananda juga baik. Yang paling penting bagi Ananda adalah ridha Umi.”
Umi meneteskan air mata.
“Aku bahagia sekali mendengar jawabanmu, Anakku. Tiga hari lagi Tante Astrid dan Diah akan dolan kemari. Untuk selanjutnya nanti bisa dibicarakan bersama dengan lebih matang. Yang kedua ini masalah Niyala.”
”Ada apa dengan aku Umi?” Tanya Niyala sedikit kaget.
”Begini. Kau sudah Umi anggap seperti anakku sendiri. Dan kau sudah bisa mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau menemani Umi di rumah ini sampai akhir hayat Umi. Kau nanti bisa buka praktek di rumah ini. Kaulah yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau Niyala?”
Niyala terhenyak, “Insya Allah. Jika Allah menghendaki dan jika Kak Faiq mengizinkan.”
“Bagaimana Faiq? Rumah dan tanah sepetak ini memang hakmu. Kaulah ahli waris ayahmu. Jika nanti ditempati Niyala bagaimana, apakah kau ikhlas?”
“Aduh Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang paling baik menurut Umi, yang paling membahagiakan Umi, Ananda akan patuhi dan Ananda penuhi. Ananda ikhlas lahir batin. Niyala bukan orang lain lagi.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu masalahnya selesai.”
Setelah itu Niyala ke dapur untuk membuatkan nasi goreng. Sementara Faiq mengutak-atik laptopnya. Tak lama kemudian sarapan siap. Mereka bertiga menyantapnya dengan santai. Berulang kali Faiq memuji kehebatan Niyala membuat nasi goreng. Ia sampai tambah tiga kali. Hati Niyala senang melihat kakaknya makan masakannya dengan begitu rakusnya. Usai sarapan Faiq dan Niyala meluncur dengan taksi ke Pulo Gadung.
Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya. Mukanya tampak begitu pucat dan sedih. Sebelum sampai di Pulo Gadung, Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut dengan perasaan bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada Niyala? Firasatnya menangkap sesuatu telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis bahagia.
“Niyala, kakak merasa kau sedang menyimpan masalah besar yang kau tidak kuat menanggungnya. Kau telah menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis sedih tapi kau tidak mau mangakuinya.”
Niyala diam. Ia sesunggukan. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus berkata apa pada orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya.
“Kalau kau masih menganggap kakak sebagai orang lain ya pendamlah masalahmu itu. Karena kau tidak lagi percaya bahwa kakak bisa membantumu atau setidaknya meringankan bebanmu. Kakak ingin kau bahagia dan tidak sedih, sebab Umi sangat ingin kau bahagia. Tapi kalau kau tidak memberikan kesempatan pada kakak untuk membantumu, kakak bisa berbuat apa?”
Kata-kata Fiaq mulai masuk ke dalam hati Niyala. Gadis berjilbab biru pun merasa tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran ini sendirian. Akhirnya ia buka suara,
”Niyala punya masalah serius dan Niyala tidak kuasa lagi menanggungnya. Niyala juga belum menemukan jalan keluar yang tepat. Niyala sangat sedih, sebab ini menyangkut hidup mati Niyala.”
”Masalah apakah itu? Apakah Umi benar-benar tidak tahu?”
”Niyala tidak ingin Umi tahu. Pengorbanan Umi sudah terlalu besar pada Niyala. Niyala tidak mau lagi menyusahkan beliau.”
”Apakah kakak boleh tau masalahnya?”
”Dengan satu syarat.”
”Apa itu?”
”Tidak memberitahukan masalah ini pada Umi.”
”Baiklah.”
Niyala lalu menceritakan perihal surat dari ayahnya secara terperinci. Juga tentang Haji Cosmas dan anak bungsunya Roger. Siapa mereka dan apa yang telah mereka perbuat. Lalu dengan terisak Niyala meluapkan segala kecemasan, kekuatiran, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa memberikan keputusan yang tepat. Ia tidak mau jadi istri Roger, namun juga tidak mau menjadi anak durhaka. Faiq mendengarkan segala penuturan adiknya dengan mata berkaca-kaca. Adiknya dalam kesulitan yang serius.
”Selepas shalat tahajjud tadi malam, terlintas dalam benak Niyala sebuah solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah ini. Namun itu perlu bantuan kakak.” kata Niyala.
”Solusinya bagaimana?”
”Niyala sudah menemukan cara untuk mendapatkan uang delapan puluh juta. Namun perlu waktu. Dan Niyala perlu bantuan kakak untuk menolak lamaran Pak Cosmas. Kalau Niyala sendiri yang ngomongnya, Niyala tidak sampai hati. Niyala minta tolong pada kakak agar bersedia menjelaskan pada ayah, bahwa saya tidak mungkin menikah dengan Roger.”
”Terus, kalau ditanya alasannya kenapa bagaimana?”
”Bilang saja Niyala sudah punya calon sendiri. Pokoknya dengan bahasa yang sebijaksana mungkin dan jangan sampai ayah terluka. Juga jelaskan kalau Niyala akan mengusahakan pelunasan uang delapan puluh juta itu sebelum tanggal jatuh tempo.”
”Kalau boleh kakak ingin tanya bagaimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
”Terus terang kak, Niyala belum tahu. Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga. Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala tidak mau menjadi pikiran Umi atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha sebaik-baiknya.”
”Tapi kakak tidak bisa berbohong, Adikku.”
”Maksud kakak?”
”Tidak mungkin kakak mengatakan kau punya calon, padahal selama ini kakak tahu kau tidak punya calon. Apakah kau benar-benar punya calon tanpa sepengetahuan kakak?”
”Bohong untuk kebaikan kan tidak apa-apa?”
”Maaf kakak tidak bisa Dik.”
”Tolonglah kak, sekali ini.”
”Soalnya ini nanti bohongnya akan banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya calonnya siapa? Orang mana? Dan lain sebagainya. Ayo bagaimana?”
”Pokoknya terserah kakak bagaimana jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah kakak rela Niyala menjadi istri seorang mucikari?”
”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi ada dua syaratnya, bagaimana?”
”Apa itu?”
”Pertama, kau harus mencucikan pakaian kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti malam?”
”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak?Na’udzubillah. Apakah kakak lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit kakak?”
”Kakak tidak lupa. Nanti kakak pakai jaket, sehingga tanganmu tidak akan menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya nanti malam di ruang tamu sambil ngobrol santai bersama Umi, ayahmu dan kakakmu. Kan tidak akan ada bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga tidak mau menolongmu!”
Niyala menggeleng-geleng kepala. Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat terakhir kali ia memijit kakaknya saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma mijit kakinya yang terkilir saat main bola dengan para remaja masjid. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan kakaknya itu.
”Tapi Cuma sekali itu kan?”
Faiq menganggukkan kepala.
”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”
”Okey, kalau begitu nanti kakak akan atur bahasanya dan lain sebagainya dengan sebaik-baiknya. Sekarang tersenyumlah, jangan sedih begitu.”
Niyala tersenyum. Faiq menatap wajah adik angkatnya dengan seksama. Niyala tersipu. ”Yuk kita lanjutkan perjalanan. Ayahmu sudah menunggu di masjid terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat. Ia dan Niyala lalu naik taksi dan meluncur ke Pulo Gadung...
ikuti terus kelanjutanya ea bersambung =D
Selasa, 18 Februari 2014
《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA (bagian) 2《♡》
《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 2《♡》
Oleh Âl Âkh Mũqâđđis Ẽl-Fârũq
SEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.
Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.
“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.
”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”
”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.
”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati secepatnya!”
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”
Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan.
Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.
Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”
Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.
***
Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?
”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq pulang.”
”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget ya?”
”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”
Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.
Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.
”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
”Diah yang mana Umi?”
”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”
”Alhamdulillah.”
”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”
”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”
“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”
Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.
“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”
Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.
“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”
“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”
Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,
”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.
”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya? Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah. Kau juga sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.
Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.
”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,
”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya.
Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya,,,
Sahabat jika Menyukai catatan ini ikuti terus kelajutanya ya sempatkan komentar (aamiin) jiKa membaca catatan ini ,, wasalamualikum warrohmatullohi wabarrokatuh,,
Bersambung ??,,sahabt jika mnyukai catatn ini di tunggu cattan selanjutnya y
Oleh Âl Âkh Mũqâđđis Ẽl-Fârũq
SEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.
Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.
“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.
”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”
”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.
”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati secepatnya!”
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”
Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan.
Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.
Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”
Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.
***
Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?
”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq pulang.”
”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget ya?”
”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”
Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.
Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.
”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
”Diah yang mana Umi?”
”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”
”Alhamdulillah.”
”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”
”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”
“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”
Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.
“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”
Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.
“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”
“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”
Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,
”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.
”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya? Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah. Kau juga sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.
Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.
”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,
”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya.
Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya,,,
Sahabat jika Menyukai catatan ini ikuti terus kelajutanya ya sempatkan komentar (aamiin) jiKa membaca catatan ini ,, wasalamualikum warrohmatullohi wabarrokatuh,,
Bersambung ??,,sahabt jika mnyukai catatn ini di tunggu cattan selanjutnya y
Langganan:
Postingan (Atom)