Selasa, 18 Februari 2014

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA (bagian) 2《♡》

《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 2《♡》

Oleh Âl Âkh Mũqâđđis Ẽl-Fârũq


SEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.

Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya.

Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.

“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”

Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.

“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”

”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”

Ia menganggukkan kepala.

”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”

”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”

Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.

”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah sebaik-baik umur manusia.”

Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati secepatnya!”

”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”

”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”

Telepon di ruang tamu berdering.

”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”

Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan.

Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.

Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,

”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”

Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.

***

Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?

”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”

Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.

”Kemana Umi?”

”Ke bandara.”

”Ada apa?”

”Kakakmu Faiq pulang.”

”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.

”He eh. Kaget ya?”

”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”

”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”

”Kenapa Mi?”

”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”

Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.

Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.

”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”

”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”

”Diah yang mana Umi?”

”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”

”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”

”Iya.”

”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”

”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”

”Alhamdulillah.”

”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”

“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”

”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”

”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”

“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”

Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.

“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”

Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.

”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”

”Benarkah Mi. Mana?”

Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.

“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”

“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”

”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”

”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”

Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,

”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.

Perkataannya itu ternyata didengar Umi.

”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya? Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah. Kau juga sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.

Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.

”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”

Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,

”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya.

Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya,,,

Sahabat jika Menyukai catatan ini ikuti terus kelajutanya ya sempatkan komentar (aamiin) jiKa membaca catatan ini ,, wasalamualikum warrohmatullohi wabarrokatuh,,

Bersambung ??,,sahabt jika mnyukai catatn ini di tunggu cattan selanjutnya y