《♡》 SETETES EMBUN CINTA NIYALA 2《♡》
Oleh Âl Âkh Mũqâđđis Ẽl-Fârũq
SEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki
semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan
keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan
yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus
berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak
mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak
yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat
wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan
berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya
selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa
putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta
tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan
uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia
janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar
semesterannya.
Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang
keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk
namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal
itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya
apa-apa. Seperti dirinya.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.
“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini
kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.
”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak
pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu
saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”
”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di
puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas
Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan
mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi.
Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa
hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang
kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering
kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan
membahagiakan.
”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan
Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang
tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih
diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan
memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada
Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah
sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya
tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat
ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku
sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan
tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah.
Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku
memilih mati secepatnya!”
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”
Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala
memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat
baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil
Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri.
Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya
bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan
kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar
di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang
Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi.
Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu
kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat
kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau
mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri.
Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh
puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan.
Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung
melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak
perempuan.
Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala
merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum
pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat
sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia
tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia
datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq
yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur.
Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya.
Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya,
termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang
setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati
Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi
istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang
telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah
mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan
puterinya, bukan anak kandungnya.
Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak
memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk
membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke
bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal
dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia
tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke
bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi
seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang
ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa
memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari
bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian
lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya
membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi
mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir.
Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah
Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir
untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya.
Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak
mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah
dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan
memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah
tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan
Umi, Anakku.”
Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi
yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya
bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia
telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya.
Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang
menyelamatkannya dari buah simalakama ini.
***
Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia
menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum
mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga
datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada
harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela
kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa?
Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia
rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah
hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?
”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali
menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan
perlahan. Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq pulang.”
”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget ya?”
”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”
Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga
tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai
menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu
kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia
datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.
Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir
begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja
sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua
tidak terjebak kemacetan yang fatal.
”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang
harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu
bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak
beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu
harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan
adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter.
Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat
bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
”Diah yang mana Umi?”
”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”
”Alhamdulillah.”
”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu
Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu
tahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan
Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah
disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya
diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”
”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”
“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah,
kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin
menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2
dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”
Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.
“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak
Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi
foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku
malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau
pakai jilbab?”
Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.
“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq.
Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan
belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak
bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”
“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat
berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah
Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan
santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu
tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan
Kuatir.”
Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat
dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah
hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan
tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi,
untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat.
Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya
lekat-lekat,
”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.
”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada
apa sebenarnya? Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau
lebih cantik dari Diah. Kau juga sangat cerdas. Sebentar lagi kau jadi
dokter. Dan kau menangis merasa masih kurang beruntung. Kau masih
memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi mampu, maka Umi akan
mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa tidak
beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi
mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.
Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa
diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati
perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.
”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan
merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah
memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada
mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh,
setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang
baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,
”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah
bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar.
Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk
menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan
bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang
benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh
yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan
anak-anaknya.
Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang
menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar
berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja
untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta
pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya
dalam hati, sedalam-dalamnya,,,
Sahabat jika Menyukai catatan ini ikuti terus kelajutanya ya
sempatkan komentar (aamiin) jiKa membaca catatan ini ,, wasalamualikum
warrohmatullohi wabarrokatuh,,
Bersambung ??,,sahabt jika mnyukai catatn ini di tunggu cattan selanjutnya y