Senin, 07 Januari 2013

Syurga Itu Di Bawah Telapak Kaki Ibu.

========================
Bissmilahirohmanhirohim.
 
Jika seandainya suatu ucapan diterima atau didengar oleh telinga, maka ucapan hati diterima oleh hati. Ucapan yang keluar dari kalbu akan diterima oleh kalbu juga. Tidak ada ucapan yang ikhlas dan ucapan yang bersih sebagaimana ucapan yang dituliskan oleh hati dan kalbu yang ikhlas.

Surat ini ditulis oleh seorang ibu untuk anak yang telah telah dewasa, Seorang anak yang telah membangun rumah tangga, telah mendapatkan pendamping hidup, dan telah merasakan kehidupan yang baru. Seorang ibu tersebut menuliskan suratnya dengan air mata dan hatinya. Kemudian ia titipkan kepada anaknya. Surat seorang ibu kepada anak adalah surat yang sangat luar biasa. Surat yang ditulis karena cinta dan didorong oleh rasa kasih sayang.

Berikut ini adalah petikan surat ibu tersebut kepada anaknya. Semoga bermanfaat.



“Bismillah.”

“Untuk anakku yang kusayangi di bumi Allah Ta’ala.”


“Segala puji ibu panjatkan kehadirat Alloh Ta’ala yang telah memudahkan ibu tuk beribadah kepada-Nya. Sholawat serta salam ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Shollolloohu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya.”



“Wahai anakku, kutulis surat ini dari tangan seorang ibu yang merana, yang ditulisnya dengan rasa malu, dalam kegelisahan, dan lamanya penantian. Lamanya dipegang pena ini hingga berlinang air matanya.”


“Wahai anakku, telah senja kini usia ibu dan aku melihat dirimu telah beranjak dewasa. Telah sempurna akal dan telah matang pikiranmu.”


“Wahai anakku, diantara hak ibu adalah sudi kiranya engkau membaca suratku ini. Namun bila engkau enggan wahai anakku, robeklah suratku ini sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibumu ini.”


“Wahai anakku, dua puluh lima tahun yang silam, kebahagiaan paling besar kurasakan dalam hidupku tatkala dokter mengabarkan kehamilanku. wahai anakku, setiap ibu sungguh telah mengetahui makna kalimat ini dengan baik.”


“Sungguh itu merupakan kebahagiaan dan kegembiraan, Inilah awal kepayahan dan perubahan dalam tubuhku. Setelah berita kegembiraan ini, ibu mengandungmu selama sembilan bulan dengan penuh kebahagiaan. Aku bangkit, tidur, dan makan dengan penuh kesulitan. Dan akupun bernafas dengan kepayahan.”


“Namun, semua kesulitan dan kepayahan ini tidak mengurangi sedikit pun rasa cinta dan sayangku padamu. Bahkan cinta kasihku semakin bertambah padamu. Seiring dengan berjalannya waktu, kian bertambah besar rasa rinduku menanti kehadiranmu.”


“Wahai anakku, aku mengandungmu dengan penuh kepayahan dan rasa sakit yang tiada terkira. Betapa gembiranya diriku tatkala kurasakan pergerakanmu dan bertambah pula kebahagiaanku tatkala kurasakan bertambahnya berat tubuhmu yang tentunya membuat berat bagi diriku. Sungguh inilah kepayahan yang panjang kurasakan.”


“Datanglah malam-malam dimana aku tak dapat tidur dan kedua mataku pun tak kuasa tuk kupejamkan. Anakku, kurasakan rasa sakit, kegelisahan, dan rasa takut yang mencekam yang tak bisa kuungkapkan dengan pena ini dan kukatakan padamu dengan ungkapan lisan.”


“Hingga aku melihat dengan kedua mataku seakan-akan kematian akan menjemput diriku sampai akhirnya kamu terlahir ke dunia. Air mata kepedihanku terpancar bersamaan dengan jerit tangismu. Hilanglah semua rasa sakit dan kepedihan.”


“Wahai anakku, telah berlalu masa-masa dimana aku meninabobokanmu di dadaku dan memandikan dirimu dengan kedua tanganku. Kujadikan pangkuanku sebagai ranjang bagimu dan susuanku sebagai makanan untukmu.”


“Aku terjaga sepanjang malam agar kamu dapat tertidur pulas dan aku berlelah diri di siang hari untuk kebahagiaan dirimu. Kebahagiaanku tatkala kamu meminta sesuatu pada ibu dan segera kupenuhi pintamu. Itulah puncak tertinggi kebahagiaanku.”


“Telah berlalu malam-malam dan telah berlalu hari demi hari. Demikian kulakukan semua itu untuk kebahagiaanmu. Melayanimu sepenuhnya dan tidak melalaikanmu. Menyusuimu tiada henti-hentinya dan merawatmu tanpa ada rasa kebosanan hingga besar tubuhmu.”


“Tibalah masa keremajaanmu dan tanda-tanda kedewasaanmu pun telah tampak pada dirimu. Hingga ibu mencarikan untukmu seorang wanita yang kau inginkan untuk kau nikahi.”


“Dan tibalah waktu pernikahanmu yang membuat sedih hatiku. Berlinang air mataku karena kebahagiaan dengan lembaran hidupmu yang baru. Bercampur duka yang dalam karena akan berpisah denganmu.”


“Kemudian tibalah masa-masa yang amat berat bagi diriku dimana kurasakan dirimu kini bukanlah buah hati yang dahulu kukenal. Sungguh engkau telah mengingkari diriku dan melupakan hak-hakku.”


“Hari terus berlalu dan tidak pernah lagi kulihat dirimu, tak pernah kudengar lembut suaramu, apakah kamu lupa kepada seorang wanita yang telah memeliharamu dengan penuh rasa cinta.”



“Wahai anakku, aku tidak menuntut apa-apa darimu. Jadikanlah diriku layaknya sahabat yang kamu miliki. Wahai buah hatiku, jadikanlah diriku sebagai salah satu tempat persinggahanmu yang senantiasa kamu kunjungi setiap bulan walau hanya sesaat.”



“Wahai anakku, gemetar seluruh tubuhku, lemah kurasakan badanku karena sakit yang aku derita. Berbagai penyakit silih berganti singgah kepadaku.”


“Aku tak mampu berdiri melainkan dengan kesulitan, aku tak mampu untuk duduk melainkan dengan kepayahan, dan senantiasa hati ini dipenuhi dengan rasa rindu akan cinta dan sayangmu.”


“Apabila suatu saat ada orang yang memuliakan dirimu, niscaya kamu akan memujinya karena perlakuannya terhadap dirimu dan kebaikan sikapnya pada dirimu. Wahai anakku, ibumu ini lebih banyak berbuat kebaikan pada dirimu dan berlaku ma’ruf padamu hingga tidak dapat dibalas dengan apapun jua.”



“Ibu telah merawatmu dan melayani semua kebutuhanmu bertahun-tahun lamanya. Manakah balasanmu? Apakah setelah semua ini, hatimu menjadi keras? Dan berlalunya waktu kian membuat dirimu jauh dariku.”


“Wahai anakku, acap kali aku mengetahui bahwa engkau bahagia dalam hidupmu, maka bertambah pula kebahagiaan dan kegembiraanku. Namun, betapa herannya ibu pada dirimu anakku, yang telah kubesarkan dengan belaian kedua tanganku.”


“Dosa apakah yang telah kuperbuat hingga aku menjadi musuh bagimu? Engkau tak mau menjengukku, beratkah langkah kakimu untuk mengunjungiku?”


“Apakah aku melakukan suatu kesalahan pada dirimu? Ataukah aku telah melakukan kelalaian dalam melayanimu? Jadikanlah diriku layaknya pelayan-pelayanmu yang engkau berikan upah kepada mereka.”


“Berikanlah aku sedikit saja rasa belas kasih dan sayangmu. Wahai anakku, berbuat baiklah pada diriku karena sesungguhnya Alloh akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat baik.”



“Wahai anakku, tak ada yang kuinginkan di dunia ini selain melihat wajahmu. Tak ada yang kuinginkan selain itu. Biarkanlah aku menatap wajahmu dan meredakan amarahmu.”


“Wahai anakku, bergetar keras detak jantungku dan berlinang deras air mataku melihat dirimu hidup bahagia dan tercukupi. Senantiasa manusia memperbincangkan akan kebaikanmu, kedermawanan, dan kemuliaanmu.”


“Wahai anakku, apakah kiranya hatimu masih memiliki seberkas rasa belas kasih terhadap seorang wanita yang renta dan lemah ini? Yang hatinya diliputi dengan kerinduan dan diselimuti dengan kesedihan?”



“Engkau telah membuat duka hatiku, membuat air mataku berlinang, menghancurkan hatiku, dan terputusnya hubungan.”


“Aku tak akan mengadukan kepedihan ini dan belum terhapus kedukaan ini karena bila naik menembus awan-awan dan mengetuk pintu-pintu langit niscaya bala akan datang padamu. Berbagai keburukan menghampirimu dan musibah besar akan menimpamu.”


“Tidak! Tak akan mungkin aku lakukan hal tersebut. Wahai anakku, kamu akan senantiasa menjadi buah hatiku, penyejuk pandanganku, dan kebahagiaan duniaku.”



“Sadarlah wahai anakku. Rambut putihmu mulai tampak. Telah berlalu waktu dan masa yang panjang yang menjadikan dirimu mulai menua.”


“Wahai anakku, bukankah balasan itu sesuai dengan perbuatan. Niscaya kamu akan menulis surat ini kepada anakmu dengan linangan air mata sebagaimana aku menulis surat ini untukmu.”


“Wahai anakku, takutlah kepada Alloh, hentikanlah tangisku dan hapuslah kedukaanku. Setelah itu, jika engkau inginkan, maka sobeklah surat ibumu ini.”

“Dan ketahuilah wahai anakku, “barangsiapa yang mengamalkan kebaikan, maka kebaikan itu untuknya dan barangsiapa yang berbuat keburukan, maka keburukan itu akan kembali padanya.”

“Wasallallohu ‘alaa nabiyyiina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wasallam.”

“Dari ibumu yang merana.”


SURAT BALASAN DARI SANG ANAK

Kepada yg tercinta, bundaku yg kusayang

Segala puji bagi Allah… yg telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.

Shalawat serta salam hamba -yg lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yg mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…


Ibu…

Aku terima suratmu yg engkau tulis dg tetesan air mata dan duka… aku telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yg aku sisakan.

Tapi tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’… Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yg engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yg hijau, tentu dia

akan kering…

Sebenarnya, surat yg engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam… Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yg jika dipecutkan ke pohon yg besar, dia akan rebah dan terbakar…

Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yg datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…


Ibu…

Aku telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yg bukan ibu dan bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yg paling bebal, untuk menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yg menulis itu adalah ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…

Sungguh aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yg dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dg surat yg ibu tulis itu!? bukan cerita yg ibu karang, atau sebuah drama yg ibu perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yg ibu rasakan.


Ibuku yg kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yg engkau telah sebutkan benar adanya…

Aku masih ingat ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yg dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan.

Dg jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yg engkau ambil tersebut adalah hutang… hutang… yg engkau sendiri tidak tahu, kapan engkau akan dapat melunasinya…


Ibu…

Aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yg telah lama engkau jemur dan keringkan…

Tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dg segera.

Aku masih ingat… engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yg sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.


Ibu…

maafkanlah anakmu ini… aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yg diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua seperti sekarang ini, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.

Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dg anak-anakmu… Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada kebahagiaan… Semua hidupmu adalah perjuangan. Semua hari-harimu adalah pengorbanan



Ibu…

Maafkan anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yg telah engkau puji sifat dan akhlaknya… yg engkau telah sanjung pula suku dan negerinya! Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa deganmu…


Wahai ibu…

Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku… senyuman dan sapaannya telah melupakanku dg himbauanmu.

Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya untuk menunaikan tanggung-jawabnya sebagai istri… Aku berharap pada permasalahan ini, engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya… Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yg baik, istri yg telah berupaya berbuat banyak untuk suami dan anak-anaknya… Istri yg selalu menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.


Ibu…

Ketika seorang laki-laki menikah dg seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Maafkan aku ibu…

Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku, anakmu ini… Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yg aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah, tidak satu atap lagi…


Ibu…

Perkawinanku membuatku masuk ke alam dunia baru… dunia yg selama ini tidak pernah aku kenal… dunia yg hanya ada aku, istri dan anak-anakku… Bagaimana tidak, istri yg baik, anak-anak yg lucu-lucu! Maafkan aku Ibu… Maafkan aku anakmu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dg keadaan orang yg penting bagiku… yg penting bagiku adalah keadaan mereka: anak-anak dan istriku…


Ibu…

Maafkan aku, anakmu… Ampunkan aku, anakmu… Aku telah lalai… aku telah alpa… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu…

Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya… Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan, sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya… Itulah yg terjadi pada diriku, wahai Ibu!!

Aku pasti akan gila ketika melihat anakku sakit… Aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare… Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu wahai ibu… Itu sulit aku rasakan, jika seandainya hal itu terjadi pada ibu, dan pada ayah…


Ibu…

Sulit aku merasakan perasaanmu…

Kalaulah bukan karena bimbingan agama yg telah engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yg durhaka kepada orang tuanya!!

Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayahmu, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti… Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat, yg engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, wahai ibu… bahwa hari yg sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dg seorang wanita… wanita yg telah mendapat keberuntungan…

Bagaimana tidak… Dia dapatkan seorang laki-laki yg telah matang pribadinya dan matang ekonominya, dari seorang ibu yg telah letih membesarkannya… Dari hidup ibu itulah ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu pulalah ia dapatkan kematangan ekonomi… Sekarang, -dg ikhlas- ia berikan kepada seorang wanita yg tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan dua wanita yg saling berebut perhatian seorang laik-laki… Dia sebagai anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.


Ibuku sayang…

Maafkan aku… Ampunkan diriku… Satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka bagiku… Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka lagi!… Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu…

Kalau itu pula yg akan kuperoleh… kalau neraka pula yg akan aku dapatkan… ijinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk dapat menyeka air matamu…

Kalau engkau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yg aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau… terserah engkau, mau engkau buat apa…

Sungguh ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku memiliki kekuasaan Firaun… kekayaan Karun… dan keahlian Haman… Niscaya aku tidak akan tukar dg kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat… Siapa pula yg tahan dg azab neraka, wahai Bunda… maafkan aku anakmu, wahai ibu!!

Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit… bahwa engkau belum mau berdoa kepada Alloh akan kedurhakaanku… Maka, ampun, wahai Ibu!!

Kalaulah itu yg terjadi… dan do’a itu tersampaikan ke langit! Salah pula ucapan lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku… Apalah jadinya nanti diriku… Tentu aku akan menjadi tunggul yg tumbang disambar petir… apalah gunanya kemegahan, sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yg tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula…

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai bunda… maka, tidak ada lagi gunanya hidup… tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan…

Ibu dalam sepanjang sejarah anak manusia yg kubaca, tidak ada yg bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara…


Ibu…

Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.

Ibu… Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku… setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali… tiap kali aku lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya… Akan kusimpan dalam lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku… Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran… ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yg seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.



Bunda…

Tua… engkau berbicara tentang tua, wahai bunda…?! siapa yg tidak mengalami ketuaan, wahai ibu!!

Burung elang yg terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yg tinggi… suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan oleh burung-burung kecil.

Singa, si raja hutan yg selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan… Tidak ada kekuasaan yg kekal, tidak ada kekayaan yg abadi, yg tersisa hanya amal baik atau amal buruk yg akan dipertanggungjawabkan.


Ibu…

Do’akan anakmu ini, agar menjadi anak yg berbakti kepadamu, di masa banyak anak yg durhaka kepada orang tuanya… Angkatlah ke langit munajatmu untukku, agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.


 ..
''...Ya Allah....
Ampunilah Bagiku Segala Dosaku & Juga Dosa
Dua Ibu Bapaku & Kasihinilah Mereka Keduanya Sebagaimana Mereka Memelihara
Dan Mendidiku Di Masa Kecil...
''..Amin Ya Robbal,Allamin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar